SEJARAH
KATA "POLISI"
Kata "polisi" itu
berasal dari kata Yunani "Politea". Kata ini pada mulanya
dipergunakan untuk menyebut "Orang yang menjadi warga negara dari kota
Athene", kemudian pengertian itu berkembang menjadi "kota" dan
dipakai untuk menyebut "semua usaha kota". Oleh karena pada zaman itu
kota-kota merupakan negara-negara yang berdiri sendiri, yang disebut
juga "Polis", maka "politea" atau
"polis", diartikan sebagai :"semua usaha dan kegiatan negara,
juga termasuk kegiatan keagamaan."
Di dalam
perkembangannya, pada abad sesudah tarih Masehi, agama Kristen mendapat
kemajuan dan berkembang sangat luas, maka semakin lama urusan dan kegiatan
agama menjadi semakin banyak, sehingga merupakan urusan khusus dan perlu
diselenggarakan secara khusus pula, akhirnya urusan agama dikeluarkan dari
usaha Politea (Polis atau Negara-kota).
Pada abad ke 14 dan 15
di Perancis dipergunakan kata "police" dan di Jerman kata
"polizei" dan perkataan-perkataan itu sudah mengeluarkan urusan agama
dari usaha "politeia" sehingga "politeia" atau
"polis", "la Police" (perancis), "Politeia"
(Itali), "Polizei" (Jerman), "police" (Inggris),
"Politie" (Belanda, "Polis di �Raja"
(Malaysia) dan "Polisi" (Indonesia) hanya meliputi usaha dan urusan
duniawian saja.
Dari abad ke abad kita
ketahui, bahwa dengan berkembangnya urusan negara, untuk effisiensi kerja
diperlukan pembagian tugas dan masing-masing tugas diserahkan kepada badan
pemerintahan yang khusus. Dengan demikian maka secara berturut-turut di
pisahkan dari pengertian "polisi" sebagai usaha negara, pertama
urusan luar negeri (diplomasi), kemudian urusan pertahanan (defensi), disusul
oleh urusan pengadilan (yustisi) dan akhirnya urusan keuangan, sehingga
"polisi" hanya tinggal meliputi bagian urusan negara yang tidak masuk
ke dalam empat bagian tersebut di atas yang dapat disebut dengan bagian
"keranjang sampah"
Semenjak waktu itu
(abad 16) pembagian usaha negara di Eropa Barat lazim dilakukan menjadi lima
"departemen" meliputi :
Departemen Urusan Luar
Negeri.
Departemen Urusan
Pertahanan
Departemen Urusan
Pengadilan
Departemen Urusan
Keuangan
Departemen Urusan
Polisi.
Departemen Urusan
Polisi menyelenggarakan urusan dalam negeri yang meliputi administrasi,
pemerintahan, pembentuk dan pelaksana semua peraturan, yang semuanya itu
"menuju kepada menjaga ketertiban dan keamanan dalam negeri"
Pada awal abad 18
Departemen Urusan Polisi ini meningkatkan usaha negara dalam memajukan
kesejahteraan dan kebahagiaan penduduk , sehingga negara dalam hal ini
mencampuri urusan rakyatnya dalam penyelenggaraan kesejahteraannya dengan
peraturan dan sarana-sarana yang ada padanya, jika perlu dengan paksaan-paksaan
yang akibatnya rakyat tidak bebas lagi dalam geraknya. Dengan turut campurnya
pemerintah dalam segala urusan rakyatnya, baik yang bersifat umum maupun
pribadi, maka rakyat menderita tindakan-tindakan pemerintah yang
sewenang-wenang, sehingga mereka merasa tidak mempunyai kebebasan sama sekali.
Negara dengan departemen polisi semacam itu disebut "Negara Polisi"
dan sebagai reaksi dari negara polisi ini muncul "Negara Hukum" mulai
pada akhir abad 18 yang membebaskan rakyatnya dari campur tangan negara dengan
segala kegiatan mereka.
Negara hanya bertindak
dalam urusan-urusan rakyatnya yang bersifat umum saja, dan dalam hal inipun
negara dibatasi oleh undang-undang, artinya negara hanya boleh bertindak
apabila tindakan itu dengan nyata disebutkan dalam undang-undang. Di luar
Undang-undang negara bersikap pasif dan dalam menyelenggarakan kesejahteraan
dan kebahagian pribadinya, rakyat bebas untuk bertindak sendiri. Kewajiban
negara hanya terbatas pada penjagaan ketertiban dan keamanan umum saja, hanya
bertindak apabila ada serangan atau gangguan terhadap hak-hak pribadi
rakyatnya, yang secara harafiah ditentukan dalam undang-undang.
Undang-undang dipandang
sebagai satu-satunya dasar bagi negara untuk bertindak dan tidak ada hukum lain
di luar undang-undang. Pandangan ini timbul oleh karena kejengkelan rakyat terhadap
pengalaman-pengalamannya di dalam "Negara Polisi" terdahulu, dimana
tindakan-tindakan penguasa, oleh karena tidak ditetapkan dalam undang-undang,
dapat dilakukan dengan sewenang-wenang.
Dalam Negara Hukum
pertama yang bercorak seperti ini, rakyatnya menuntut agar hukum yang
mendasari segala tindakan penguasa harus dengan seksama ditulis dalam
undang-undang dan dibukukan dalam kitab undang-undang.
Setelah masyarakat
selama kurang lebih satu abad hidup dalam suasana Negara Hukum type
pertama ini yang pemerintahnya seakan-akan bersikap pasif, merasa tidak
puas dan timbul paham baru, bahwa kewajiban pemerintah untuk memajukan
masyarakatnya harus lebih luas daripada hanya sekedar terbatas kepada hal-hal
yang dituliskan dalam undang-undang saja.
Pada akhir abad 19,
dimana-mana timbul kesadaran masyarakat, bahwa untuk memajukan perkembangan
bangsa dalam kebudayaan, kesenian dan ilmu pengetahuannya , meninggikan taraf
hidup, kemakmuran dan kesejahteraan, baik jasmaniah maupun rohaniah, negara
harus aktif mempelopori dan mendorong rakyat berusaha sekuat-kuatnya . Pada
waktu itu timbul pendapat baru, bahwa untuk memajukan kesejahteraan dan
kebahagiaan rakyat, penguasa negara tidak terikat hanya pada apa yang
ditetapkan dalam undang-undang, akan tetapi demi untuk kepentingan rakyatnya
dapat mengambil kebijaksanaan berdasarkan hukum yang hidup dan tidak tertulis.
Sesuai pendapat ini timbullah dari Negara Hukum yang lama menjadi Negara
Hukum barudan sifat serta tugas Polisi menyesuaikan dengan perkembangan sifat
negara itu.
IDENTITAS TUGAS POLISI
REPUBLIK INDONESIA
Gambaran tentang Polisi
dan tugas-tugasnya pada umumnya di dunia, telah diketahui bersama, selanjutnya
gambaran Polisi Republik Indonesia tidak jauh berbeda karena sifatnya yang
universal dan sangat elastis menyesuaikan dengan perkembangan sifat negara
masing-masing. Polisi Republik Indonesia sesuai dengan bunyi pembukaan
Undang-Undang Dasar RI 1945 mempunyai sifat negara yang mengutamakan kemajuan
kesejahteraan sosial rakyatnya.
Dari sejarah
pertumbuhan masyarakat dapat diketahui, bahwa sesungguhnya tugas polisi itu
pada mulanya dilakukan sendiri oleh seluruh masyarakat, dengan diasuh oleh para
pemimpinnya. Organ Polisi semula terdiri dari masyarakat sebagai keseluruhan.
Hal ini hingga sekarang masih dapat dijumpai pada taraf masyarakat keluarga,
dimana ayah dan ibu menyelenggarakan tugas polisi dalam keluarga.
Masyarakat berkembang
menjadi semakin kompleks, sehingga untuk effesiensi dan kelancaran pengurusan
kehidupan warganya diperlukan pembagian kerja dan pengkhususan. Kejahatan
sebagai gejala sosial memperlihatkan peningkatan dan intensitas penggunaan
hasil tehnologi dan cara-cara modern. Oleh karena itu maka apa yang telah
dikenal sebagai tugas polisi diserahkan kepada badan negara tersendiri yang
dinamakan Kepolisian Republik Indonesia.
Untuk menciptakan
keamanan dan ketertiban masyarakat, yang ditujukan terutama kepada memperbesar
kegairahan dan kesibukan kerja dalam usaha mencapai kesejahteraan rakyat, baik
materiil maupun spirituil, dimana seluruh rakyat harus diikut sertakan, maka
Kepolisian Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas pokok pada hakekatnya
merupakan salah satu unsur penting dari Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta,
yaitu unsur dari Pertahanan Keamanan Nasional oleh dan untuk rakyat, khususnya
merupakan inti dari penyelenggaraan keamanan dan ketertiban masyarakat.
Oleh karena tugas
penyelenggaraan keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas), sudah ada sejak
adanya masyarakat itu sendiri, timbul dan berkembang sesuai dengan dinamika
masyarakat, maka wajar kiranya apabila polisi merupakan unsur yang tidak
terpisahkan dari masyarakat dan merupakan inti di dalam menciptakan suasana
aman dan tertib di dalam masyarakat itu.
Polisi di dalam
menyelenggarakan Keamanan dan Ketertiban masyarakat tidak berdiri sendiri,
sebab pada hakekatnya seluruh rakyat di dalam kesadarannya untuk menegakkan
hukum, keamanan dan ketertiban masyarakat, dengan menggunakan mass-media dan
sarana-sarana lain adalah pelaksana kaidah-kaidah masyarakat, baik yang
bersifat psikis maupun phisik, turut berperanan pula dalam menyelenggarakan
tugas kepolisian dalam bentuk "sosial control " . Karena
pada dasarnya keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) itu, dalam gejolak
yang dahsyat dalam kehidupan abad tehonologi dan informasi dewasa ini, harus
dipertahankan bersama-sama rakyat.
Diikut sertakannya
masyarakat dalam penyelenggaraan keamanan ketertiban masyarakat dapat kita
lihat antara lain dari ketentuan perundang-undangan yang menyebutkan bahwa
tiap-tiap orang diberi wewenang untuk melakukan penahanan terhadap orang yang
disangka melakukan sesuatu kejahatan atau pelanggaran tertangkap tangan dan
membawanya kepada polisi yang berwajib.
KEPRIBADIAN POLISI
Pada umumnya corak
kepribadian dan ciri-ciri tugas polisi di dunia ini, ditentukan sesuai dengan
corak kepribadian dan type negaranya.
Pada jaman penjajahan
Belanda maupun Jepang corak kepribadian dan tugas polisi itu tidak terlalu
kompleks, bahkan sangat sederhana, yaitu hanyalah sebagai alat pemukul dalam
menegakkan hukum yang diciptakan dan dipaksakan oleh pemerintah kolonial kepada
rakyat jajahannya. Persyaratan bagi polisi tidak banyak, tidak perlu ada
pendidikan perwira polisi yang akademis atau universiter, cukup dengan
pendidikan physik yang kuat sebagai pemukul dan sekedar pengetahuan hukum
penegak kepentingan penjajahan. Dalam alam kolonial, apabila dilihat dari sudut
kesejahteraan negara dan rakyatnya, polisi pada hakekatnya hanyalah berupa alat
pelaksana yang mati, karena polisi sengaja dijauhkan dari perasaan, cita-cita
dan hati nurani rakyatnya.
Sesuai dengan coraknya
yang sederhana dari tugasnya itu, maka pada waktu itu organisasi kepolisian
tidak perlu berstatus departemen atau kementrian sendiri, akan tetapi cukup
dibebankan kepada pejabat eksekutip. Pada jaman penjajahan Belanda polisi masuk
lingkungan Departemen Dalam Negeri. Di Jaman penjajahan Jepang Polisi masuk
dalam lingkungan Keamanan. Tugas polisi hanya sekedar sebagai pembantu
kehakiman dan pamong praja saja.
Pada detik Proklamasi
17 Agustus 1945 lahirlah Negara Republik Indonesia dengan Undang Undang
Dasar-nya yang berlandaskan Pancasila. Pada hakekatnya pada detik itu juga
sebagai salah satu unsur dari Negara Republik Indonesia, lahirlah
pula Polisi Republik Indonesia yang dalam suatu Sidang Panitia Persiapan
Kemerdekaan tanggal 19 Agustus 1945 ditetapkan masuk dalam lingkungan
Departemen Dalam Negeri dengan sebutan " Jawatan Kepolisian Negara
"
Ciri khas kepribadian
Polisi Negara RI, tidak lain daripada suatu pengabdian dan kesetiaan kepada
Nusa dan Bangsa Indonesia. Polisi senantiasa mengutamakan kepentingan umum dan
kejayaan negara di atas kepentingan partai, golongan dan pribadi. Polisi
berpandangan hidup, kesadaran, cita-cita hukum serta moral yang meliputi
kejiwaan dan watak bangsa Indonesia.
Upaya merobah sikap
mental dan perilaku aparatur kepolisian dari status kolonial yang beroman muka
sebagai penindas menjadi roman muka Kepolisian Indonesia merdeka sebagai
penegak hukum, pembina ketertiban dan keamanan masyarakat dalam rangka keamanan
dalam negeri senantiasa menjadi mission Polisi RI sepanjang masa.
Dalam pengabdiannya
kepada masyarakat yang bercita-citakan kehidupan yang tertib, aman sentausa dan
sejahtera sesuai dengan amanat para leluhur kita menciptakan masyarakat
yang "tata-tentram, kerta-raharja" lahirlah dalam jiwa
Polisi RI, keinsyafan akan pedoman hidup,
yaitu "tribrata" yang di ikrarkan oleh segenap anggota
kepolisian pada tanggal 1 Juli 1955, yang berisikan azas-azas :
Polisi itu : Abdi Utama
Nusa dan Bangsa
Polisi itu : Warga
Negara Utama Negara
Polisi itu : Wajib
menjaga ketertiban pribadi rakyat.
Azas-azas dalam
Tribrata inilah yang wajib dipedomani bagi seluruh anggota Polisi RI yang
merdeka berbeda dengan roman muka polisi kolonial yang lebih beroman muka
penindas.
Sikap dan perilaku
Polisi RI, pada dasarnya merupakan penjabaran dari Tribrata sebagai berikut :
Wujud sikap dan
perilaku seorang polisi RI, yang menyatakan dirinya sebagai Abdi utama Nusa dan
Bangsa adalah sebagai berikut :
Berbhakti kepada Nusa
dan Bangsa adalah kehormatan tertinggi.
Melaksanakan tugas nya
dengan penuh kesungguhan, keikhlasan dan perasaan tanggung jawab.
Menolong sesama manusia
dengan tulus ikhlas tanpa mengharapkan balasan apapun.
Menanam kepercayaan di
kalangan masyarakat, dengan tingkah lakunya yang tiada tercela dan lepas segala
pamrih.
Membhaktikan diri
kepada Negara dan masyarakat dengan hasrat yang tiada kunjung padam serta
pantang mundur.
Wujud sikap dan
perilaku seorang polisi RI, yang menyatakan dirinya sebagai Warga Negara Utama
Negara adalah sebagai berikut :
Dalam melakukan
tugasnya dengan kesetiaan serta ketaatan kepada negara dan Pemerintahnya.
Menjunjung tinggi
hukum, bersikap tidak berat sebelah dan berdiri di atas segala aliran dan paham
politik.
Bersikap ramah tamah
dan memperlakukan setiap anggota masyarakat sebagai sesama warga negara yang
sederajat.
Melindungi Hak-hak
Azasi tiap-tiap anggota masyarakat, yang berintikan kebebasan dari segala
ketakutan.
Segala tingkah lakunya
memberi teladan sesama warga negara lainnya, serta mempelopori pembinaan
kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat.
Wujud sikap dan
perilaku seorang Polisi RI, yang menyatakan dirinya sebagai Insan yang wajib
menjaga ketertiban pribadi rakyat, adalah sebagai berikut :
Selalu bersikap waspada
di dalam melaksanakan tugasnya.
Bersikap adil dan
bijaksana tanpa membedakan golongan, kedudukan atau kekayaan.
Menjunjung tinggi
kejujuran, kebersihan dan kesederhanaan
Bersikap tenang, sabar,
sopan santun dan tiada terombang ambing oleh keadaan apapun juga yang
dihadapinya.
Berkesadaran diri untuk
memupuk ketertiban pribadi yang didasarkan atas nurani yang murni.
Nilai-nilai yang
tersimpul dalam Tribrata itu amat luas dan luhur. Tribrata
bukanlah "semboyan" atau "pedoman", akan
tetapi merupakan suatu keinsyafan pribadi yang diikrarkan dengan penuh
kesungguhan dan khidmat
Dalam melaksanakan
tugas kepolisian tiap detik, maka tiap langkah anggota Polsi RI akan
benar-benar diikuti dengan unsur-unsur Tribrata. Tribrata bukan suatu ikrar
yang kosong, akan tetapi harus benar-benar diamalkan anggota polisi siapa saja,
dimana saja dan kapan saja. Tanpa mengamalkan Tribrata, petugas Polisi RI akan
gagal dalam menunaikan dharma-bhaktinya kepada Kesatuan, Nusa dan
Bangsanya.Sungguh tidak ringan pengabdian dan pengorbanan seorang anggota
Polisi Republik Indonesia itu.
Bertepatan dengan
Pancawarsa Hari Kepolisian tanggal 1 Juli 1960 di Yogyakarta, kepada seluruh
anggota Kepolisian RI oleh Presiden Soekarno
diamanatkan Catur-Prasetia, agar diamalkan sebagai pedoman karya.
Catur artinya empat dan Prasetia berarti janji (kesanggupan, tekad), yang
bunyinya sebagai berikut :
supaya
Bhayangkara Satya Haprabu,
supaya
Bhayangkara Hanyaken Musuh,
supaya
Bhayangkara Gineung Pratidina,
supaya
Bhayangkara Tan Satrisna.
Satya Haprabu, berarti
setia kepada Negara Republik Indoensia. Prabu disini berarti Pucuk Lambang
Negara, yaitu Negara Republik Indonesia, jadi Setia kepada Negara dan
Pimpinan Negara.
Hanyaken
Musuh, berarti meniadakan musuh, dengan kata lain melenyapkan musuh, perintang
dan gangguan keamanan negara serta pimpinan negara,mengenyahkan musuh-musuh
negara, masyarakat dan rakyatnya.
Gineung
Pratidina, berarti mengagungkan tiap hari dan tiap malam, dengan kata lain
seluruh anggota Polisi RI tiap-tiap hari, tiap-tiap malam, tiap-tiap jam dan
tiap-tiap menit harus mengagung Negara Republik Indonesia ."Rame ing gawe
mengabdi dan mengagungkan negara"
Tan Satrisna, berarti
tidak boleh terikat oleh sesuatu di dunia ini. Tidak merasa diberati, tidak
merasa terikat kepada sesuatu, tidak terikat kepada rasa tresna (cinta) yang
bermakna, tidak merasa berat menjlankan tugas kepolisian, tidak merasa berat
untuk berkorban didalam membaktikan diri kepada pada negara, oleh karena tidak
diberati oleh keluarga, harta benada atau kemuliaan pribadi dan lain
sebagainya. "Tanpa terikat oleh suatu apapun dalam mengutamakan
kewajibannya, sepi ing pamrih".
Catur
Prasetya merupakan pedoman karya Kepolisian Republik Indonesia dan harus
diamalkan oleh seluruh anggota Polisi RI.
POLISI
LALU LINTAS
Sejarah Polisi Lalu
lintas di Indonesia tidak lepas dari sejarah Kepolisian itu sendiri khususnya
Polisi secara universal. Karena itu untuk lebih mengenal sejarah Polisi lalu
lintas maka seyogyanya kita awali dengan berbagai sejarah Polisi itu sendiri.
Sejarah istilah “polisi” ternyata mempunyai arti yang berbeda-beda, hal ini
pada kenyataanya dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu negara, bahasa dan
sejarah lingkup tugas dan wewenang polisi. Faktor negara dalam hal ini sejarah
suatu negara akan berpengaruh dalam pembentukan pengertian istilah “polisi”,
tentu saja negara-negara yang dijajah oleh negara lain juga akan terpengaruh
terhadap perkembangan/sejarah istilah “polisi” oleh negara yang menjajah.
Istilah “polisi” dalam bahasa yang berbeda mempunyai arti yang khusus, sesuai
dengan pengertian yang dikehendaki dimana bahasa tersebut yang dipengaruhi oleh
keadaan sosial budaya.
Dalam perkembangannya sejarah istilah “polisi” telah mengalami berbagai
perubahan yang diakibatkan terjadinya penyempitan dan pengkhususan tugas dan
wewenang institusi polisi. Penyempitan dan pengkhususan tugas-tugas/wewenang
polisi dilakukan dalam upaya membatasi tugas dan wewenang polisi yang sangat
kompleks dan teramat luas, sehingga tugas dan wewenang polisi sesuai dengan
perkembangan keadaan dan tuntutan masyarakatnya.
Negara Inggris menggunakan istilah Constable yang mengandung 2 (dua) macam
arti, yaitu : (1) Police Constable sebagai sebutan untuk pangkat terendah di
kalangan kepolisian dan (2) Office Constable yang mengandung arti kantor
polisi. Sedangkan Amerika Serikat menggunakan istilah Sheriff yang sebenarnya
berasal dari bangunan sosial Inggris. Negara Jerman menggunakan istilah Polizei
yang mengandung arti luas yaitu meliputi : (1) Urusan kesejahteraan rakyat
(Wohlfahrts Polizei), yang mendekati mengertian pamong praja atau Bestuur,
mengusahakan kesejahteraan, keamanan dan penolakan bahaya; dan (2) Urusan
keamanan (Sicherheits Polizei) yang mengandung arti polisi keamanan.
Negara Yunani menggunakan istilah Politeia yang mengandung arti luas meliputi
seluruh pemerintahan negara kota, termasuk urusan-urusan keagamaan seperti
penyembahan terhadap dewa-dewanya. Berbeda dengan Yunani, negara Romawi
menggunakan istilah Politia yang berarti pemerintahan negara. Di Indonesia
istilah Polisi berasal dari proses indonesianisasi dari istilah Belanda
Politie. Dalam rangka Catur Praja dari Van Vollenhoven, istilah “polisi”
terbagi dalam : Bestuur (eksekutif), Politie (polisi), Rechtspraak (yudikatif),
Regeling (legislatif).
Jika merunut pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maka pengertian
Polisi secara umum adalah badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan
dan ketertiban umum, sedangkan pengertian polisi lalu lintas adalah polisi yang
memelihara keamanan dan keselamatan lalu lintas (KBBI, 2001:886). Untuk lebih
mengenal sejarah polisi lalu lintas di Indonesia, maka penulis akan mengupasnya
berdasarkan periode waktu sebagai berikut :
A. Jaman Penjajahan
a. Penjajahan Belanda
Perkembangan lalu lintas di Indonesia pada umumnya sangat dipengaruhi oleh
perkembangan dunia otomotif secara global. Dunia otomotif sendiri mengalami
perkembangan sejak ditemukannya teknologi mobil dan motor yang berkembang di
Eropa pada abad ke-19. Pemerintah Hindia Belanda yang saat itu menjajah
Indonesia mulai membawa mobil dan sepeda motor masuk ke Indonesia. Mulai
munculnya aktivitas lalu lintas kendaraan bermotor di Indonesia. Ketika mobil
dan sepeda motor bertambah banyak Pemerintah Hindia Belanda mulai merasa perlu
mengatur penggunaannya. Peraturan pertama di keluarkan pertama kali pada
tanggal 11 Nopember 1899 dan dinyatakan berlaku tepat tanggal 1 Januari 1900.
Bentuk peraturan ini adalah Reglement (Peraturan Pemerintah) yang disebut
Reglement op gebruik van automobilen ( stadblaad 1899 no 301 ). Peraturan ini
kemudian diubah pada tahun 1910 yang ditandai dengan dikeluarkannya Motor
Reglement (stb 1910 No.73). Peraturan itu sendiri dikeluarkan dikarenakan
semakin banyaknya kendaraan bermotor yang masuk ke Indonesia sebagai sarana
mobilisasi penjajah Belanda.
Organ kepolisian sendiri telah ada lebih awal sejak jaman VOC, namun baru di
pertegas susunannya pada masa pemerintah Gubernur Jenderal Sanford Raffles,
masa pendudukan Inggris. Kala itu, kantor Polisi hanya dibangun pada kota-kota
tertentu yang termasuk dalam kategori kota besar seperti Jayakarta, Semarang,
dan Surabaya. Untuk mengimbangi perkembangan lalu lintas yang terus meningkat,
maka pemerintah Hindia Belanda memandang perlu membentuk wadah Polisi
tersendiri yang khusus menangani lalu lintas, sehingga pada tanggal 15 Mei
1915, dengan Surat Keputusan Direktur Pemerintah Dalam Negeri No. 64/a lahirlah
satu organ Polisi Lalu Lintas dalam tubuh Polisi Hindia Belanda.
Dalam organ Polisi pada waktu itu ada empat bagian, yaitu bagian sekretaris,
bagian serse, bagian pengawas umum dan bagian lalu lintas. Pada mulanya bagian
lalu lintas di sebut Voer Wesen, sebagai jiplakan dari bahasa Jerman “Fuhr
Wessen” yang berarti pengawasan lalu lintas. Organ ini terus disempurnakan,
diberi nama asli dalam bahasa Belanda Verkeespolitie artinya Polisi Lalu
Lintas.
Selama penjajahannya Pemerintah Hindia Belanda aktif membuat aturan – aturan
mengenai Polisi Lalu Lintas. Pada tanggal 23 Februari 1933 dikeluarkan Undang –
undang lalu lintas jalan dengan nama : DE Wegverkeers Ordonantie (stadblaad
No68). Undang – undang ini terus disempurnakan tanggal 1 Agustus 1933
(stadblaad No 327). Tanggal 27 Februari 1936 ( stadblaad No 83), tanggal 25 Nopember
1938 ( stadblaad No 657 dan terakhir tanggal 1 Maret 1940 (stadblaad No 72).
Peraturan-peraturan tersebut dibuat dan disahkan oleh pemerintah Hindia Belanda
selain bertujuan untuk mengatur ketertiban kendaraan bermotor juga
diperuntukkan guna pengembangan jalan dalam kota, jalan antar kota, maupun
jalan-jalan lintas lainnya yang berguna bagi akses perpindahan para penjajah.
b. Penjajahan Jepang
Seperti yang kita ketahui, pada perang Asia Timur Raya Belanda dipaksa menyerah
pada kekuatan militer Jepang. Demikian pula dengan Indonesia yang kala itu
dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda ganti diambil alih oleh kekuasaan
Jepang yang lebih mengandalkan kekuatan militer. Begitu pula bidang lalu lintas
juga diatur dan dikuasasi dengan cara militer. Dalam organ kepolisian hanya ada
organ Kempetai (Polisi Militernya Jepang).
Masa penjajahan Jepang, pengatur jalan raya diambil alih oleh polisi militer,
sedangkan Polisi Lalu Lintas tidak nampak dan tidak banyak diketahui perannya
ketika itu. Sampai dengan mundurnya penjajah Jepang akibat kekalahannya pada
perang melawan sekutu, peranan polisi lalu lintas tidak banyak meninggalkan
catatan sejarah di Indonesia.
B. Jaman Kemerdekaan
a. Periode 1945-1950
Kemerdekaan Indonesia sesungguhnya juga tidak terlepas dari peranan para
tokoh-tokoh Polisi dijaman tersebut. Tokoh – tokoh Polisi tersebut antara lain
R.S. Soekanto dan R. Sumanto. Peranan para tokoh itu pulalah yang mengawali
perkembangan Kepolisian Negara Republik Indonesia, utamanya pasca proklamasi 17
Agustus 1945. Tanggal 19 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) menetapkan bahwa Polisi termasuk di dalam lingkungan Departemen Dalam
Negeri.
Dalam rangka membentuk lembaga kepolisian yang terstruktur dan organisasional
Presiden Soekarno menunjuk Raden Said Soekanto Cokrodiatmojo sebagai Kepala
Kepolisian Negara RI atas saran dari Iwa Kusumasumantri dan Mr. Sartono.
Penunjukan ini dilakukan dalam sidang kabinet pada tanggal 29 September 1945
tanpa sepengetahuan dirinya. Pengangkatan Soekanto sebagai Kepala Kepolisian
Negara merupakan langkah awal pembentukan kepolisian nasional yang integratif.
Hal ini terlihat dari upaya untuk menyatukan satuan-satuan polisi di daerah
yang mandiri dan tanpa koordinasi setelah kemerdekaan dalam Kepolisian Negara RI.
Sejak peresmiannya, Kepolisian Negara memikul tanggungjawab keamanan yang berat
karena tentara nasional belum dibentuk secara resmi.
Pada bulan Februari 1946 Jawatan Kepolisian yang tergabung di dalam Departemen
Dalam Negeri memindahkan kantor pusat / kedudukannya di Purwokerto. Karena
kesulitan yang dihadapi oleh Jawatan Kepolisian pada waktu itu sedangkan mereka
sangat dibutuhkan maka pada tanggal 1 Juli 1946 dengan Penetapan Pemerintah No.
11 /SD tahun 1946 Jawatan Kepolisian Negara dipisahkan dari Departemen Dalam
Negeri dan menjadi Jawatan sendiri dibawah Perdana Menteri, tanggal ini
selanjutnya di jadikan tanggal kelahiran dan dijadikan hari Bhayangkara. Pada
periode ini Jawatan Kepolisian Negara, mulai membenahi wadah – wadah,
organisasi kepolisian walaupun menghadapi berbagai kendala. Usaha – usaha yang
telah dilakukan antara lain:
1) Menyusun suatu Jawatan pusat dengan bagian – bagiannya. Tata Usaha Keuangan,
Perlengkapan, Organisasi Pengawasan Aliran Masyarakat dan Pengusutan Kejahatan.
2) Menciptakan peraturan – peraturan mengenai pakaian dinas, tanda pangkat,
tata tertib dan tata susila, baris berbaris dan lain – lain.
3) Menyusun kembali Polisi Lalu Lintas, dengan tugas lain yang pada saat dan
waktu mendatang diperlukan.
Dasar penyusunan
kembali Polisi Lalu Lintas tersebut secara resmi tidak diketahui, namun
penyusunan ini mudah disebabkan keadaan lalu lintas yang memang masih belum
seramai seperti sekarang ini. Jumlah kendaraan di masa pendudukan Jepang masih
sangat sedikit. Sisa kendaraan dari masa pendudukan Jepang yang ditinggal
sedikit menjadi semakin berkurang, karena usia dan suku cadang yang tidak
tersedia atau sulit mencari gantinya. Pada periode ini masalah lalu lintas
belum mendapat perhatian yang sungguh – sungguh. Pada tanggal 1 Agustus 1947
Dewan Pertahanan Negara melalui aturan No. 112 memasukkan Kepolisian Negara
sebagian atau seluruhnya menjadi kesatuan tentara. Polisi dianggap perlu
menjadi bagian dari militer dalam rangka mempertahankan negara RI dari
rongrongan Belanda. Fungsi ketentaraan ini dijalankan oleh Korps Mobile Brigade
yang membantu perjuangan tentara melawan agresi Belanda.
Sesuai Dengan perjanjian KMB, Indonesia diharuskan mengganti sistem
ketatanegaraan nya menjadi bentuk federal yang terdiri dari negara-negara bagian
maka Republik Indonesia pun berdiri dan UUD 1945 dianggap tidak berlaku lagi
karena tidak sesuai dengan prinsip negara federal. Wilayah RIS sendiri terdiri
atas Negara Republik Indonesia, Negara Indoneisa Timur, Negara Pasundan, Negara
Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatera Timur, Negara Sumatera Selatan,
daerah Jawa Tengah, Daerah Bangka, Belitung, Riau, Dayak Besar, Banjar,
Kalimantan Tenggara, Kalimantan Timur, dan daerah Istimewa Kalimantan Barat.
Pada tanggal 16 Desember 1949 di Yogyakarta Ir. Soekrano dipilih sebagai
Presiden RIS, Moh. Hatta menjadi perdana Menteri, dan Sri Sultan Hamengku
Buwono (HB) IX sebagai Koordinator Keamanan yang memegang kekuasaan tertinggi
atas kepolisian dan institusi kemiliteran, sedangkan sebagai wakilnya diangkat Kepala
Kepolisian Negara R.S. Soekanto yang menangani tanggung jawab kepolisian.
Meski banyak rintangan dan kesulitan yang menghadang, usaha-usaha untuk
membangun Jawatan kepolisian RIS yang sesuai dengan keppres No. 22 tahun 1950
terus dilakukan. Dalam menghadapi situasi keamanan yang belum stabil, sangat
diperlukan sebuah kepolisian yang sentralistik di bidang kebijaksanaan teknis
maupun administrasi. Melalaui Penetapan Perdana Menteri No. 3 tanggal 27
Januari 1950 pimpinan kepolisian diserahkan kepada Menteri pertahanan dengan
maksud memusatkan pimpinan kepolisian dan ketentaraan dalam satu atap.
b. Periode 1950-1959
Setelah penyerahan kedaulatan Negara R.l tanggal 29 Desember 1949 baru dapat
dilanjutkan kembali. Pimpinan Polisi di daerah pendudukan yang dipegang oleh
kader – kader Belanda di ganti oleh kader – kader Polisi Indonesia. Hanya dalam
mereorganisasi Kepolisian Indonesia dinamakan Jawatan Kepolisian dan pada masa
terbentuknya Negara Kesatuan tanggal 17 Agustus 1950 berubah namanya menjadi
Jawatan Kepolisian Negara.
Karena kemajuan dan perkembangan masyarakat yang mulai perlu diantisipasi maka
organisasi Polisi memerlukan penyesuaian agar dapat mewadahi dan menangani
pekerjaan dengan cepat. Untuk itu diperlukan spesialisasi. Sehingga tanggal 9
Januari 1952 dikeluarkan order KKN No.6 / IV / Sek / 52. Tahun 1952 mulai
pembentukan kesatuan – kesatuan khusus seperti Polisi Perairan dan Udara serta
Polisi Lalu Lintas yang dimasukkan dalam pengurusan bagian organisasi.
Untuk Polisi Lalu Lintas di wilayah Jakarta Raya merupakan bagian tersendiri
yang mempunyai rumusan tugas sebagai berikut : (1) Mengurus lalu lintas;
(2)Mengurus kecelakaan lalu lintas; (3) Pendaftaran nomor bewijs; (4) Motor
Brigade keramaian; dan (5) Komando pos radio dan bengkel.
Dengan kemajuan teknologi dan perkembangan lalu lintas yang semakin pesat
Kepala Jawatan Kepolisian Negara memandang perlu untuk membangun wadah yang
konkrit bagi penanganan -penanganan masalah lalu lintas. Oleh karenanya maka
pada tanggal 22 September 1955. Kepala Jawatan Kepolisian Negara mengeluarkan
Order No 20 / XVI / 1955 tanggal 22 September 1955, tentang Pembentukan Seksi
Lalu Lintas Jalan, pada tingkat pusat yang taktis langsung di bawah Kepala
Kepolisian Negara. Maka saat itu dikenal istilah lalu lintas jalan untuk
pertama kalinya, yang mempunyai rumusan tugas sebagai berikut:
1) Mengumpulkan segala bahan yang bersangkutan dengan urusan lalu lintas jalan.
2) Memelihara / mengadakan peraturan, peringatan dan grafik tentang kecelakaan
lalu lintas , jumlah pemakai jalan, pelanggaran lalu lintas jalan.
3) Mengadakan pengawasan atas pelaksanaan perundang – undangan lalu lintas
jalan dan menyiapkan instruksi guna pelaksanaan di berbagai daerah.
4) Melayani sebab – sebab kecelakaan lalu lintas jalan di berbagai tempat di
Indonesia, dan menyiapkan instruksi dan petunjuknya guna menurunkan /
mengurangi angka kecelakaan lalu lintas.
Tahun 1956, di tiap
kantor Polisi Propinsi dibentuk Seksi Lalu Lintas dengan Order Kepala
Kepolisian Negara No. 20 / XIII /1956 tanggal 27 Juli 1956 kemudian di kesatuan
– kesatuan / kantor -kantor Polisi Karesidenan, selanjutnya pada tingkat
Kabupaten di bentuk pula seksi – seksi Lalu lintas dengan berdasar pada Order
KKN tersebut.
Pada periode ini telah diadakan beberapa kegiatan untuk perbaikan lalu lintas
antara lain menyangkut engineering misalnya:
1) Diperkenalkannya istilah pulau – pulau jalan oleh Komisaris Besar Untung
Margono untuk pertama kalinya di Indonesia. Pada pembuatan pulau – pulau ini
diadakan kerja sama dengan Departemen Pekerjaan Umum dengan maksud untuk
kelancaran lalu lintas.
2) Penegasan kembali pemasangan rambu – rambu lalu lintas yang mulai nampak
adanya penyimpangan – penyimpangan, baik bentuk, warna maupun pemasangannya.
Untuk itu pemasangan rambu perlu dasar hukum yang kuat karena Indonesia sudah
menjadi anggota Convention on Road Traffic.
3) Dimulainya pendidikan lalu lintas pada anak – anak sekolah agar anak – anak
sejak kecil sudah kenal dengan masalah – masalah lalu lintas. Maka dibentuklah
Badan Keamanan Lalu Lintas (BKLL) untuk pertama kali di Jakarta pada tahun 1953
dengan maksud :
a) Menanamkan rasa tanggung jawab akan keselamatan lalu lintas terhadap orang
lain dan terhadap umum.
b) Membantu menjaga keamanan lalu lintas dan mengurangi kecelakaan terutama yang
melibatkan anak – anak sekolah.
c) Berusaha mewujudkan cita – cita masyarakat yang mempunyai disiplin lalu
lintas yan tinggi sopan santun dan berpengetahuan lalu lintas yang luas.
c. Periode 1959-1965
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 tidak hanya berdampak pada berubahnya
struktur tata pemerintahan Negara akan tetapi juga mempunyai pengaruh terhadap
perubahan- perubahan struktur dalam organisasi Kepolisian Negara. Perubahan
pertama adalah terbentuk nya departemen kepolisian berdasarkan SK. Presiden No.
154/1959 tanggal 15 Juli 1959 berikutnya, berdasarkan SK. Presiden No.
1/MP/RI/1959 sebutan Kepala Kepolisian Negara berubah menjadi Menteri Muda
Kepolisian namun buka termasuk kedalam menteri anggota kabinet, dalam hal ini
yang menjabat adalah R.S. Soekanto.
Pada tanggal 23 Oktober 1959 dengan peraturan sementara dari Menteri / KKN di
keluarkan peraturan sementara Menteri /KKN No. 2.PRA/MK/1959 tentang Susunan
dan Tugas Markas Besar Polisi Negara. Dengan berdasar pada peraturan ini status
Seksi Lalu Lintas Jalan di perluas menjadi Dinas Lalu Lintas dan Polisi Negara
Urusan Kereta Api (PNUK). Tugas – tugas lainnya antara lain :
1) Mengatur pemberian jaminan bantuan kepada instansi – instansi yang
membutuhkan bantuan Polisi bagi kelancaran dan keamanan lalu lintas daratan.
2) Kedua mengatur pelaksanaan pemeliharaan kelancaran dan keamanan lalu lintas
di daratan termasuk Kereta Api.
3) Memberi nasehat dan saran – saran mengenai soal – soal lalu lintas di
daratan kepada instansi – instansi yang membutuhkan.
Untuk membantu Menteri Muda kepolisian dibentuklah lembaga Direktorat Jenderal
yang dipegang oleh seorang direktur. Kebijakan lainnya adalah mengubah wewenang
kepengurusan bidang keuangan yang semula di bawah Perdana Menteri ke Menteri
Muda Kepolisian Negara. Status kepolisian baru jelas ketika ditetapkan- nya
ketetapan MPRS No. II/ MPRS/ 1960 yang menyatakan Kepolisian Negara menjadi
Angkatan Bersenjata dan ketetapan tersebut dipertegas dengan penetapan DPR-GR
tanggal 19 Juni 1961 tentang Undang-Undang Pokok Kepolisian No. 13/1961 yang
tertuang dalam pasal 3 dalam undang-undang tersebut dijelas- kan bahwa
kepolisian negara adalah Angkatan Bersenjata.
Kepala Dinas Lalu Lintas / PNUK adalah Ajun Komisaris Besar Polisi Untung
Margono yang menggantikan Komisaris Besar Polisi H.S Djajoesman. Setelah
pergantian pimpinan Polisi dari Menteri Muda Kepolisian R.S. Soekanto oleh
Sukarno Djoyo Negoro mantan Kepala Kepolisian Jawa Timur, kemudian disusul
reorganisasi kepolisian yaitu tentang susunan dan tugas kepolisian tingkat
departemen.
Dalam reorganisasi ini Dinas Lalu Lintas / PNUK dimasukkan dalam Korps Polisi
Tugas Umum termasuk didalamnya Perintis Polisi Wanita dan Polisi Umum, tanpa
mengurangi tugas – tugas Dinas Lalu Lintas sebelumnya :
1) Perubahan itu tertuang dalam Peraturan Sementara JM Menteri/KSAK tanggal 31
Desember 1961.
2) Tanggal 23 Nopember 1962 dikeluarkan pula peraturan JM Menteri/KSK No.
2.PRT/KK/62 dibentuk kembali Dinas Lalu Lintas, yang terpisah dari Polisi tugas
Umum, sedangkan PNUK tetap dimasukkan dalam jajaran Polisi Tugas Umum.
3) Tanggal 14 Februari 1964 dengan Surat Keputusan JM MEN PANGAK No.
Pol.:11/SK/MK/64 Dinas Lalu Lintas diperluas kembali statusnya menjadi
Direktorat Lalu Lintas. Dengan Surat Keputusan ini maka untuk pertama kali
reorganisasi kepolisian bidang lalu lintas menggunakan nama Direktorat Lalu
Lintas di tingkat pusat.
Undang-undang
Kepolisian yang lahir pada kala itu memang merupakan bentuk tonggak sejarah
dalam perkembangan Kepolisian modern di Indonesia, namun karena dalam penjelasan
undang- undang tersebut dikatakan bahwa status kepolisian terletak diantara
sipil dan militer maka integrasi kepolisian ke dalam ABRI menjadi
setengah-setengah. Baru pada tahun 1964 berdasarkan Keppres No. 290 tahun 1964
yang disempurnakan lagi pada tanggal 23 Juli 1965 angkatan Kepolisian
diintegrasikan dengan unsur-unsur ABRI lainnya yaitu Angkatan Darat, Angkatan
Laut, dan Angkatan Udara sehingga kedudukan hukum, personel, material,
keuangan, organisasi, administrasi, dan perawatan angkatan kepolisian diatur
secara umum dan terintegrasi.
Dalam perkembangan selanjutnya, bekerja sama dengan Departemen Perhubungan
Darat dan Direktorat Pendidikan dan Latihan telah dirintis pendidikan kejuruan
kader-kader Polantas. Kelanjutan dari kerja sama ini adalah, dikirimnya
beberapa Perwira Polisi ke Amerika yaitu Northwestern University Of Traffic
Institute (NUTI) dan California High Way Patrol di Sacrament (USA) untuk
memperluas pengetahuannya di bidang lalu lintas. Dengan kembalinya para perwira
yang mengikuti tugas belajar di Amerika, mulailah dirintis untuk pertama
kalinya pendidikan Bintara Patroli Jalan Raya (PJR) di Sukabumi tahun 1962 yang
diikuti oleh 40 siswa Polisi Lalu Lintas Komisaris di P. Jawa dan Bali. Dan
mulai pula Kesatuan Lalu Lintas mengembangkan sayapnya guna memenuhi tuntutan
jaman dengan membentuk kesatuan-kesatuan PJR.
Pembentukan kesatuan memerlukan perlengkapan yang cukup, dan hal ini dipenuhi
dengan bantuan dari pemerintah Amerika Serikat seperti kendaraan bermotor (Jeep
dan sedan Falcon dan Chevy) serta alat-alat komunikasi radio (motorola), sepeda
motor Harley Davidson. Adanya kesatuan PJR didalam tubuh Polri/ Polantas,
merupakan suatu organ baru yang sangat menunjang dan sangat diperlukan, baik
untuk keamanan, dan penegakan hukum serta penyidikan kecelakaan lalu lintas,
tugas-tugas tindakan pertama pada kejahatan maupun bantuan taktis dapat
dilaksanakan.
Karena Perkembangan situasi politik, hubungan diplomatik Indonesia dengan
Amerika Serikat mulai memburuk kemudian Polri lepas hubungan dengan Amerika
Serikat, sehingga bantuan terputus. Bidang pendidikan masyarakat lalu lintas
mulai dikembangkan, Polisi Lalu Lintas mulai membuat majalah, mengenalkan cara
berlalu lintas pada pramuka dan membentuk Patroli Keamanan Sekolah (PKS).
Karena kecelakaan lalu lintas sudah mulai menjadi masalah, Polisi Lalu Lintas
mulai mengadakan penerangan-penerangan kepada masyarakat tentang tata cara
berlalu lintas yang baik dan benar.
Pada periode ini mulai muncul usaha yang kuat untuk menyusun Undang-undang lalu
lintas dan angkutan jalan untuk menggantikan VWO tahun 1933 peninggalan
Belanda. Tahun 1965 berhasil menyusun Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan Raya No. 3Tahun 1965. Kegiatan-kegiatan Polantas terus dikembangkan,
tugas operasional Polisi Lalu Lintas tidak terbatas hanya berkaitan dengan lalu
lintas saja, tetapi juga yang berkaitan dengan fungsi lain seperti ikut
membantu penindakan terhadap kejahatan, penculikan, kebakaran dan lain-lain.
Disamping itu dalam setiap penyelenggaraan kegiatan yang bersifat internasional
di Indonesia Polisi Lalu Lintas selalu berperan aktif.
d. Periode 1965-1998
Munculnya gerakan G 30 S/PKI pada tanggal 30 September 1965 menuntut segenap
alat negara untuk bersatu dengan kokoh, meskipun cukup alot, integrasi Polri ke
tubuh ABRI akhirnya dapat berlangsung. Keterpaduan ABRI dan Polisi diharapkan
menjadi kekuatan Hankam yang tangguh untuk menghalau setiap pemberontakan dan
pengacau yang mengancam keamanan negara dan bangsa Indonesia.
Integrasi ABRI dengan Polri di kongkritkan dengan Keppres no. 79/1969 yang
berisi Pembagian dan Penentuan Fungsi Hankam. Meskipun berbeda dengan angkatan
perang yang terdiri dari AD, AU dan AL tetapi Polri menjadi bagian dari
Departemen Hankam.
Dengan Keppres tersebut Polri kembali mengadakan penyesuaian-penyesuaian dan
perubahan-perubahan dalam tubuh organisasi baik di tingkat pusat maupun daerah.
Demikian halnya di kesatuan Polisi Lalu Lintas. Untuk menyusun organisasi
kepolisian maka dikeluarkan Surat keputusan Men Hankam Pangab No. Kep. A./385A/1111970
tentang Pokok-pokok Organisasi dan Prosedur Kepolisian Negara R.l. Sebagai
penjabarannya dikeluarkan Surat Keputusan Kapolri No.Pol. 113/SK/1970 tanggal
17 September 1970 tentang Organisasi Staf Umum dan Staf Khusus dan Badan-badan
pelaksana Polri, maka lahirlah organisasi baru di lingkungan Polri.
Demikian juga di kalangan Polisi Lalu Lintas Pusat. Dua tahun sebelum surat
keputusan ini (tahun 1968) di tingkat pusat dibentuk Pusat Kesatuan Operasi
Lalu Lintas (Pusatop Lantas), dengan komandannya KBP Drs. U.E. Medelu. Dengan
keluarnya SK tersebut berubah kembali menjadi Direktorat Lalu Lintas tahun
1970, yang merupakan salah satu unsur Komando Utama Samapta Polri, sehingga
kemudian disebut Direktorat Lalu Lintas Komapta.
Pada periode ini dibentuk Patroli Jalan Raya (PJR) oleh Mabes Polri, meski
sebenarnya pembentukan Patroli Jalan Raya sudah dilakukan di Kepolisian Daerah,
namun baru tahun 1966 dibentuk secara resmi berdasarkan instruksi Men Pangab
No. 31/lnstr/MK/1966. Pembentukan Kesatuan PJR ini memang didasari dengan
pertimbangan-pertimbangan yang matang.
Dalam pelaksanaan tugasnya anggota PJR dituntut untuk selalu siaga dan
berpedoman kepada motto courtesy, protection, and service (ramah tamah
perlindungan dan pelayanan). Detasemen PJR ini dipimpin oleh seorang komandan
yang ditunjuk oleh Direktur Lalu Lintas dibawah pengawasan Kepala Dinas
Pengawasan Direktorat Lalu Lintas.
Permasalahan lalu lintas mulai terasa meningkat ditandai meningkatnya frekwensi
pelanggaran lalu lintas. Nampaknya masalah ini cukup merisaukan, terlebih para
aparat penegak hukum. Dipandang dari segi sarana penindakan tampak memang
kurang efektif. Tahun 1969 dibentuk team untuk merumuskan sistem penindakan
pelanggaran lalu lintas yang praktis dan cepat.
Pada tanggal 11 Januari 1971 lahir Surat Keputusan Bersama antara Ketua
Mahkamah Agung No. 001/KMA/71, Jaksa Agung No. 002/DA/1971, Kepala Kepolisian
R.l No. 4/SK/Kapolri/71 dan Menteri Kehakiman No. JS/1/21 yang mengesahkan
berlakunya Sistem Tilang untuk pelanggaran lalu lintas. Dari Pihak Polri Tim
perumus diwakili oleh Jenderal Memet Tanu Miharja, Brigjen Pol. Drs. VE.
Madelu, Letkol Pol Drs. Basirun. Mulai tahun 1971 mulailah pelanggaran lalu
lintas ditindak dengan tiket system yang dikenal dengan bukti pelanggaran disingkat
tilang. Tanggal 29 Maret 1969 didirikan Pusat Pendidikan Lalu Lintas (Pusdik
Lantas) yang berkedudukan di jalan MT. Haryono Jakarta Selatan, masih satu
kantor dengan Direktorat Lalu Lintas Polri. Kemudian pada tahun 1985
dipindahkan ke Serpong Tangerang Jawa Barat sampai saat ini sejak tahun 1969
pendidikan lalu lintas untuk Perwira dan Bintara Lalu Lintas dapat dilaksanakan
secara teratur.
Berdasarkan Surat Keputusan Men Hankam No. Kep/15/IV/1976 tanggal 13 April
1976, Skep Kapolri No. Pol. Skep/507V111/1977, dan Skep Kapolri No. Pol.
Skep/53/VII/1977 di tingkat Mabak terdapat dua unsur lalu lintas. Pertama ;
Dinas Lalu Lintas Polri yang berkedudukan sebagai Badan Pelaksana Pusat dibawah
yang sehari-harinya dikoordinasi oleh Deputy Kapolri dengan tugas pokok
membantu Kapolri untuk menyelenggarakan segala kegiatan dan pekerjaan di bidang
pencegahan, penanggulangan terhadap terjadinya gangguan/ancaman terhadap
Kamtibmas di bidang Lantas dan menindak apabila diperlukan dalam rangka
kegiatan atau operasional Kepolisian, Kedua : pusat system senjata Lalu Lintas
Polri yang berkedudukan dibawah Danjen Kobang Diklat Polri dengan tugas pokok
menyelenggarakan segala usaha kegiatan mengenai pengembangan taktik dan teknik
system senjata serta pendidikan latihan di bidang fungsi teknis lalu lintas
Polri dalam rangka system Kamtibmas, serta tugas lain yang dibebankan padanya.
Pusdik lantas kedudukannya dibawah Pusenlantas sebagai penyelenggara
pendidikan. Dan secara organisatoris terpisah dari Dinas Lalu Lintas.
Selanjutnya berdasarkan Keputusan Pangab No.Kep/11/P/III/1984 tentang
Pokok-pokok Organisasi dan Prosedur Kepolisian Negara R.l, dan Keputusan
Kapolri No. Pol: Kep/09/X/1984 tanggal 30 Oktober 1984, Pusdik lantas kembali
berada di bawah Direktorat Pendidikan Polri.
Pada tahun 1984 dengan Surat keputusan Pangab No. Kep/11/P/ll 1/1984 tanggal 31
Maret 1984 tentang Pokok-pokok Organisasi dan Prosedur Kepolisian R.l, Dinas
Lalu Lintas Polri dirubah dan diperkecil struktur organisasinya menjadi Sub
Direktorat Lalu Lintas Polri di bawah Direktorat Samapta Polri bersama-sama
dengan Subdirektorat Polisi Perairan, Polisi Udara dan Satwa Polri. Pada tahun
1991 tepatnya tanggal 21 Nopember 1991 Subdirektorat Lalu Lintas dikembangkan
kembali organisasinya menjadi Direktorat Lalu Lintas Polri berkedudukan di
bawah Kapolri yang sehari-harinya dikoordinasikan oleh Deputi Operasi Kapolri.
e. Periode
1998-sekarang
Pada waktu terjadi demonstrasi dan kekacauan di Jakarta dan kota-kota lain di
Indonesia pada medio 1998, Polisi Lalu Lintas tetap aktif mengendalikan arus
lalu lintas dalam melaksanakan tugas dibidang lalu lintas lainnya dengan penuh
semangat, walaupun gelombang demonstrasi panjang cukup melelahkan Polisi Lalu
Lintas tetap mewujudkan Kamtibcar Lantas. Seiring dengan tuntutan demokratisasi
dan supremasi hukum maka ditahun 1999 kedudukan Polri dipisahkan dari bagian
ABRI menjadi di bawah Departemen Pertahanan dan Keamanan. Dengan terbitnya
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor : VI/MPR/2000
tanggal 18 Agustus 2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Nomor : VII/MPR/2000 tanggal 18
Agustus 2000 tentang Peran Tentara Nasional Republik Indonesia dan Peran
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kedudukan Polri yang mandiri dan berada langsung di bawah Presiden RI ditandai
dengan lahirnya Undang-undang nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia. Pada tahun 2004 merupakan salah satu tonggak sejarah yang
menunjukkan eksistensi Polantas yaitu dengan terbitnya Peraturan Pemerintah
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Penetapan Tarif PNBP yang berlaku dilingkungan
Polri dimana 7 kewenangan yang diatur dalam PP tersebut 6 kewenangan milik
Polantas.
Dengan terbitnya PP No 31 Tahun 2004 sebagai pelaksanaan dari Undang – undang
No 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak menghilangkan kesan
Duplikasi tugas Pokok Polisi Lalu Lintas dengan Departemen Perhubungan, yaitu
dimana Peran Polisi Lalu Lintas berada dalam tataran Keamanan Dalam Negeri
melalui Registrasi dan Identifikasi kendaraan bermotor dan pengemudi yang
merupakan ciri khas dari tugas – tugas Polisi secara Universal selaku aparat
penegak hukum menggunakan Identifikasi dalam upaya pembuktian bahwa telah
terjadi suatu tindak pidana, sedangkan Peran Departemen Perhubungan berada
dalam tataran Regulator Transportasi Nasional. Dengan pemberlakuan PP ini pula
merupakan salah satu ciri khas yang dimiliki oleh fungsi teknis Polisi Lalu
Lintas yaitu dapat memberi masukan kepada kas negara melalui biaya administrasi
yang dipungut atas pelayanan Polri kepada masyarakat berdasarkan tarif yang
telah ditentukan oleh Peraturan Pemerintah tersebut.
Sejarah Berdirinya
Traffic Management Center (TMC)
Kemacetan lalu lintas merupakan masalah yang tidak bisa dilepaskan dari
kehidupan warga Jakarta. Moda transportasi massal yang diprediksi bisa
mengurangi bahkan menyelesaikan masalah kemacetan ternyata tidak mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kemacetan di wilayah Ibukota Jakarta.
Pemerintah Provinsi Jakarta saat dipimpin oleh Gubernur Sutioso melakukan
membaharuan dalam bidang transportasi dengan membuat busway, water way dan
monorail.
Hanya transportasi busway yang operasional sedangkan waterway dan monorail
masih angan-angan yang sampai saat ini pembangunannya tidak jelas. Semakin lama
jalan di Jakarta semakin penuh sesak oleh kendaraan bermotor. Sehingga
kemacetan tidak bisa dihindari, akibatnya kinerja aparat Kepolisian dalam hal
ini Polisi lalu lintas sangat disorot oleh masyarakat luas.
Pihak Kepolisian pun tidak kalah dalam inovasi, lewat kecanggihan teknologi
dibangunlah Traffic Management Center (TMC) di Direktorat Lalu lintas kemudian
dipindah ke Polda Metro Jaya. Upaya nyata dari kepolisian dalam mengatasi
masalah lalu lintas jalan raya khususnya di wilayah Jakarta yang memberikan
informasi baik mengenai registrasi kendaraan bermotor, pelanggaran, kecelakaan
lalu lintas dan lainnya sehingga masyarakat dapat terbantu, dan informasi yang
di peroleh benar benar akurat dan secara real time. Disis petugas kepolisian
sendiri akan semakin mempermudah dalam penyebaran personel dilapangan karena
dapat diketahui titik titik mana saja yang berpotensi mengakibatkan kemacetan.
Pembentukan Traffic Manajement Centre merupakan penjabaran kebijakan dan
strategi Kapolri tahun 2002-2004. Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah
Metropolitan Jakarta Raya sebagai satu kesatuan Organisasi yang melaksanakan
tugas Operasional di bidang Lalu Lintas dalam pelaksanaan tugasnya harus dapat
menjabarkan Kebijakan dan Strategi Kapolri tersebut.
Action Plan Kapolda Metropolitan Jakarta Raya yang akan dilaksanakan oleh
seluruh kesatuan dikewilayahan. Pelaksanaan Action Plan Kapolda Metropolitan
Jakarta Raya tersebut dilaksanakan dengan menyelenggarakan suatu sistem manajemen
penyelenggaraan keamanan di ibukota dalam rangka menyikapi perubahan-perubahan
sosial yang terjadi. Pelaksanaan ini harus dilakukan secara cepat, tepat,
terprogram dan sistematis serta bersifat sinergis dengan semangat Speed dan
Professional serta penuh rasa kebanggaan dalam memberikan pelayanan dan
perlindungan bagi masyarakat untuk mewujudkan program quick wins.
Dalam rangka mengaplikasikan kebijakan Kapolda Metropolitan Jakarta Raya untuk
meningkatkan kinerja pelayanan Polri (khususnya di bidang lalu lintas), maka
Direktorat Lalu Lintas Polda Metro politan Ja karta Raya berusaha membangun
sarana penunjangnya yakni Sistem Informasi Aplikasi Polisi yang terintegrasi
sehingga semua aplikasi Polri yang telah dibangun dapat di akses dengan cepat,
tepat dan akurat serta dapat membantu kecepatan informasi yang disampaikan
kepada seluruh pihak yang berkepentingan, sehingga diharapkan mampu membantu
pelaksanaan tugas Polantas dalam menangani kemacetan, kecelakaan dan
pelanggaran lalu lintas secara cepat dan profesional . Sarana ini diberi nama
Traffic Management Centre ( TMC).
TMC berdiri sejak tahun 2005, waktu itu masih di gedung Lantas Pancoran dan
baru pindah ke Polda bulan Maret 2007. Bagi polisi, TCM sendiri merupakan
sarana K3i (Komando, Kendali, Koordinasi dan Informasi). Artinya, segala macam
kegiatan operasional lalu lintas itu dikendalikan dari pusat komando TMC ini.
TMC tetap baik untuk mengurangi persoalan di jalan raya serta titik – titik
yang rawan kejahatan .
Traffic Management Centre Polda Metro Jaya mempunyai 25 komputer, 3 call center
dan proyektor dengan teknologi tinggi. Kehadiran TMC digagas sejak tiga tahun
lalu. Kami belajar dari pengalaman Belanda, Singapura dan Jepang. Sistem ini
bukan hanya mampu meningkatkan pelayanan masyarakat dan kontrol terhadap para
petugas di lapangan, tetapi juga mampu memperbaiki citra polisi, karena dengan
adanya TMC, jumlah polisi atau petugas terkait lainnya di jalan bisa dikurangi
ke titik terendah.
Keadaan ini tentu akan memperbaiki citra polisi dan aparat terkait lainnya.
Prinsipnya, kini kian sedikit petugas di jalan, namun justru kian menguat kesan
kota aman dan tertib di balik kerja polisi dan aparat lain yang tak tampak.
Namun pada sisi lainnya perkuatan melalui pemanfaatan teknologi juga dikedepankan.
Tujuan dibentuk Traffic Management Centre : (1) Sebagai Pelayanan Quick Respon
Time secara Profesional terhadap masyarakat; (2) Sebagai Pelayanan Penegakkan
Hukum; dan (3) Sebagai Pusat Informasi bagi Polri dan Masyarakat. Sedangkan
program – program Traffic Management Centre diantaranya adalah :
1. Pelayanan Quick Respon Time secara Profesional terhadap masyarakat.
2. Analisa Pelanggaran dan Kecelakaan Lalu Lintas (Black Spot).
3. Pusat Informasi Surat Ijin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK),
Bukti Kepememilikan Kendaraan Bermotor ( BPKB) bagi Polri dan Masyarakat.
4. Pusat Informasi kegiatan dan Kemacetan Lalu Lintas.
5. Pusat Informasi Hilang Temu Kendaraan Bermotor.
6. Pusat Kendali Patroli Ranmor dalam mewujudkan Keselamatan dan Kamtibcar
Lantas.
7. Pusat Informasi Kualitas Baku Mutu Udara.
8. Pusat Pengendalian Lalu Lintas.
Tugas para awak Ruangan
Traffic Management Centre dititik beratkan sebagai Pusat Komando dan
Pengendalian Operasional Kepolisian bidang Lalu Lintas. Seluruh data dari
kewilayahan ditampung di ruangan ini yang kemudian diolah untuk siap disajikan.
Dengan adanya data yang telah siap disajikan ini diharapkan dapat membantu
tugas-tugas Polri dalam melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat.
Adapun perangkat/teknologi yang dimiliki oleh Traffic Management Centre Dit
Lantas Polda Metropolitan Jakarta Raya adalah:
1. GPS (Global Positioning System) sebanyak 44 yang dipasang di wilayah Jakarta
dan sekitarnya yang rawan gangguan keamanan.
2. CCTV (Closed Circuit TeleVision) sebagai kamera pengintai sebanyak 50 unit
yang disebar ke beberapa titik rawan kemacetan, mempunyai spesifikasi teknis
bisa digerakkan 360 derajat.
3. SMS (Short Messaging Service) dengan SMS 1120 masyarakat dapat melapor
langsung dari TKP jika ada pelanggaran hukum, sehingga segala laporan dan
pengaduan dapat dilayani dengan cepat.
4. Internet Service (Website) melalui situs http://www.lantas.metro.polri.go.id.
5. Identification Service (SIM, STNK & BPKB).
6. Traffic Accident Service (Pelayanan Informasi Laka Lantas ).
7. Law Enforcement Service (Pelayanan Penegakkan Hukum).
8. Video Conference (Teknologi Konferensi Jarak Jauh).
9. Faximile.
10. Telp. Bebas Pulsa 112 (Hunting).
TMC berfungsi untuk
memonitor adanya gangguan keamanan di wilayah seputar Jakarta dengan CCTV.
Monitor di ruang TMC terus online, dan menunjukkan tayangan dua gambar. Yang
satu menunjukkan situasi arus lalu lintas di kawasan A, termasuk adanya jenis
gangguan keamanan.
Tayangan yang lain memperlihatkan peta penuh titik lokasi yang berasal dari
sinyal kendaraan patroli polisi yang dilengkapi GPS atau Sistem Informasi
Geografis (GIS/Geographic Information System), serta sejumlah lokasi pos
polisi. Karena semua sudah saling terkoordinasi, maka bantuan ke daerah
kejadian akan segera ditangani.
Kehadiran TMC memang punya manfaat lain, seperti memantau lokasi genangan air
dan pohon tumbang, mengingat cuaca sekarang ini sedang tidak menentu. TMC juga
bisa mengidentifikasi nomor kendaraan bermotor dan data seluruh kendaraan yang
ada di wilayah hukum Polda Metro. Hal ini dimungkinkan karena TMC sudah
terintegrasi dengan seluruh kantor Sistem Administrasi Manunggal di bawah Satu
Atap (Samsat) di Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Dengan demikian polisi
tak perlu lagi menghubungi kantor Samsat. Data pemegang Surat Izin Mengemudi
(SIM) pun bisa diakses dari TMC. Jadi kalau pemegang SIM-nya sering melanggar,
polisi bisa cepat mencabut SIM.
Kehadiran TMC belum bisa mengurangi petugas patroli jalan raya seperti di
negara- negara maju. Hal ini disebabkan masyarakat kita sebagian besar belum
sadar hukum. Oleh karena itu penggunaan jaringan CCTV yang dikendalikan TMC,
belum sepenuhnya mengurangi kehadiran polisi di jalan, terutama di hari-hari
sibuk. Misalnya saat hari raya dan sebagainya. Saat ini, masyarakat kita taat
kalau ada polisi. Meski demikian, kehadiran TMC sudah pada tingkat harus ada di
Jakarta, karena tingginya penduduk, tingginya mobilitas warga, dan bertambahnya
kendaraan yang tidak seimbang dengan pertambahan jalan.
Polisi Lalu Lintas Dimasa Mendatang
Pada jaman dahulu tidak ada lampu trafick light (lampu merah, kuning, hijau di
perempatan jalan). Untuk mengatur lalu lintas di perempatan jalan, Polisi
berdiri di tengah-tengah perempatan sambil memutar secara manual kode berjalan
dan berhenti seperti gambar di samping.
Benda berbentuk kotak pada ujung tiang tersebut bertulis “Berjalan” dan
“Berhenti”. Polisi di bawahnya memutar bergiliran kode tersebut melalui tuas
yang ada di bawahnya secara manual untuk mengatur lalu lintas. Sebuah payung
sekedarnya, sedikit membantu untuk menghindari panas dan rintikan hujan.
Pekerjaan tersebut memerlukan dedikasi, ketanggapan dan kejelian. Bagi mereka,
menjadi petugas dalam mengamankan arus lalu lintas, merupakan sebuah kebanggaan
yang dijalankan secara ikhlas. Dari sini kita bisa membayangkan betapa mulianya
amal perbutan tersebut.
Jaman terus berganti, kini rambu-rambu lalu lintas di perempatan jalan bekerja
secara otomatis dengan adanya lampu trafick light. Meskipun begitu, nilai jaman
dahulu tidak jauh berbeda dengan jaman sekarang, Polisi masih diperlukan di
perempatan jalan untuk mengatur lalu lintas dan masyarakatnya. Meskipun
sekarang Polantas di perempatan bekerja lebih mudah, akan tetapi semangat
pengabdian yang ikhlas pada jaman dulu harus tetap bersemi pada setiap anggota
Polisi pada setiap masanya baik dulu, kini dan yang akan datang. Sehingga
mereka sadar, bahwa ini merupakan pekerjaan yang mulia dan bernilai pahala di
sisi-Nya apabila dikerjakan dengan tulus ikhlas.
Perkembangan dan kemajuan dibidang lalu lintas khususnya transportasi darat
yang demikian pesat, telah berdampak menurunnya kualitas Kamtibcar Lantas
dijalan, sebagai akibat digunakannya jalan sebagai sarana penunjang mobilitas
masyarakat sehingga tidak sesuai dengan fungsi jalan tersebut termasuk di
dalamnya penyimpangan terhadap fungsi jalan. Hal ini juga akibat dari berkembangnya
tingkat kehidupan masyarakat serta perubahan-perubahan yang terjadi sesuai
dengan perkembangan jaman sehingga hal ini dapat menimbulkan berbagai jenis
ancaman Kamtibcar lantas bagi pemakai jalan.
Menghadapi ancaman Kamtibcar lantas tersebut, maka aparat penegak hukum dalam
hal ini Polri bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pengawasan dan
pengendalian lalu lintas dan angkutan jalan yang optimal sehingga mampu
menanggulangi ancaman kamtibcar lantas terutama di kota-kota besar, pentingnya
sarana jalan dikota besar mendapat prioritas dalam penanggulagan ancaman
Kamtibcar Lantas, dikarenakan perkotaan mempunyai nilai strategis dan ekonomis
sebagai pusat pemerintahan dan bisnis sehingga berpengaruh terhadap kelancaran
dan keberhasilan pembangunan daerah maupun Pembangunan Nasional disegala
sektor.
Mengantisipasi timbulnya ancaman kamtibcar lantas di kota besar yang nampak
trend perkembangannya dimasa mendatang akan terus meningkat dan bertambah
kompleks, maka pimpinan Polri menetapkan kebijaksanaan bahwa fungsi Kepolisian
di bidang lalu lintas merupakan salah satu aspek dari Core business Polri.
Konsekwensi dari kebijaksanaan tersebut maka seluruh jajaran Polisi Lalu Lintas
(Polantas) sebagai pengemban fungsi lalu lintas harus mampu menunjukkan hasil
tugasnya, sesuai tugas pokok, fungsi dan perannya.
Masalah lalu lintas sangat berkaitan erat dengan berbagai masalah yang mencakup
ke berbagai aspek kehidupan, keterkaitan itu dapat lebih jelas terlihat apabila
perhatian lebih dipusatkan pada salah satu segi, misalnya dalam hal
penanggulangan kemacetan lalu lintas sehingga masalah kemacetan ini menjadi
perhatian pemerintah dan masyarakat.
Mengatasi masalah kemacetan lalu lintas, tidak mungkin dapat dilakukan secara
mendadak atau hanya melalui salah satu bentuk upaya kegiatan saja, misalnya
tindakan tegas kepada semua pelanggar aturan lalu lintas, baik dalam bentuk
operasi Kepolisian, maupun kegiatan rutin dengan sasaran pelanggaran terhadap
ketentuan perundang-undangan Lalu Lintas seperti yang diatur dalam pasal-pasal
tilang yang kita kenal selama ini.
BRIMOB
Brigade Mobil atau
sering disingkat Brimob adalah unit (Korps) tertua di dalam Kepolisian Republik Indonesia (Polri)
karena mengawali pembentukan kepolisian Indonesia pada tahun 1945. Korps ini
dikenal sebagai Korps Baret Biru Tua.
Brimob termasuk satuan
elit (pasukan khusus) dalam jajaran kesatuan Polri, Brimob juga tergolong ke
dalam sebuah unitparamiliter ditinjau dari tanggung jawab dan lingkup
tugas kepolisian.
Sejarah
Brimob pertama-tama
terbentuk dengan nama Tokubetsu Keisatsutai atau Pasukan Polisi
Istimewa. Kesatuan ini pada mulanya diberikan tugas untuk melucuti senjata
tentara Jepang,
melindungi kepala negara, dan mempertahankan ibukota. Brimob turut berjuang dalam
pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Di
bawah pimpinan Inspektur Polisi I Mohammad
Yasin, Pasukan Polisi Istimewa ini memelopori pecahnya pertempuran 10
November 1945 melawan
Tentara Sekutu brimob
merupakan kesatuan paling pertama di Indonesia, pada masa penjajahan Jepang
Brimob dikenal dengan sebutan Tokubetsu Keisatsutai. Pasukan ini yang pertama
kali mendapat penghargaan dari Presiden pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno
yaituSakanti YanoUtama
Beralih menjadi Mobrig
Pada 14
November 1946 Perdana
Menteri Sutan Sjahrir membentuk Mobile Brigade (Mobrig)
sebagai ganti Pasukan Polisi Istimewa. Tanggal ini ditetapkan sebagai hari
jadi Korps Baret Biru. Pembentukan Mobrig ini dimaksudkan Sjahrir sebagai
perangkat politik untuk menghadapi tekanan politik dari tentara dan sebagai
pelindung terhadap kudeta yang melibatkan satuan-satuan militer. Di kemudian
hari korps ini menjadi rebutan antara pihak polisi dan militer.
Menghadapi gerakan separatis
Mobrig bersama pasukan
TNI juga dikerahkan pada April 1950 ketika Andi Azis beserta
pengikutnya dinyatakan sebagai pemberontak di Sulawesi Selatan. Kemudian ketika Dr.
Soumokil memproklamirkan berdirinya RMS pada 23 April 1950, kompi-kompi
tempur Mobrig kembali ditugasi menumpasnya.
Pada 14
November 1961 bersamaan
dengan diterimanya Pataka Nugraha Sakanti Yana Utama, satuan Mobrig berubah
menjadiKorps Brigade Mobil (Korps Brimob).
Pada tahun 1981 Brimob
membentuk sub unit baru yang disebut unit Penjinak Bahan Peledak (Jihandak).
Semenjak tahun 1992
Brimob pada dasarnya adalah organisasi militer para yang dilatih dan
diorganisasikan dalam kesatuan-kesatuan militer. Brimob memiliki kekuatan
sekitar 12.000 personel. Brigade ini fungsi utamanya adalah sebagai korps elite
untuk menanggulangi situasi darurat, yakni membantu tugas kepolisian
kewilayahan dan menangani kejahatan dengan tingkat intensitas tinggi yang
menggunakan senjata api dan bahan peledak dalam operasi yang membutuhkan aksi
yang cepat. Mereka diterjunkan dalam operasi pertahanan dan keamanan domestik,
dan telah dilengkapi dengan perlengkapan anti huru-hara khusus. Mereka telah
dilatih khusus untuk menangani demonstrasi massa. Semenjak huru-hara yang terjadi pada bulan Mei 1998,
Pasukan Anti Huru-Hara (PHH) kini telah menerima latihan anti huru-hara
khusus.Dan terus menerus melakukan pembaharuan dalam bidang materi pelaksanaan
Pasukan Huru-Hara(PHH).
Beberapa elemen dari
Brimob juga telah dilatih untuk melakukan operasi lintas udara. Dan juga
sekarang sudah melakukan pelatiahan SAR(Search And Rescue)
JURNAL INTERNASIONAL
http://online-journal.unja.ac.id/index.php/jimih/article/download/2174/1513
http://journal.ui.ac.id/index.php/jki/article/view/1092/1004
SUMBER :
http://semuapengertian.blogspot.co.id/2015/03/pengertian-polisi-dan-tugas-utamanya.html#.Vqh5vI8rSDAhttps://sodikin3.wordpress.com/tag/pengertian-polisi/https://id.wikipedia.org/wiki/Brigade_Mobilhttp://policeline-kambey.blogspot.co.id/2008/07/pengertian-polisi.html
https://ferli1982.wordpress.com/2011/07/13/lalu-lintas/