SEJARAH
KATA "POLISI"
Kata "polisi" itu
berasal dari kata Yunani "Politea". Kata ini pada mulanya
dipergunakan untuk menyebut "Orang yang menjadi warga negara dari kota
Athene", kemudian pengertian itu berkembang menjadi "kota" dan
dipakai untuk menyebut "semua usaha kota". Oleh karena pada zaman itu
kota-kota merupakan negara-negara yang berdiri sendiri, yang disebut
juga "Polis", maka "politea" atau
"polis", diartikan sebagai :"semua usaha dan kegiatan negara,
juga termasuk kegiatan keagamaan."
Di dalam
perkembangannya, pada abad sesudah tarih Masehi, agama Kristen mendapat
kemajuan dan berkembang sangat luas, maka semakin lama urusan dan kegiatan
agama menjadi semakin banyak, sehingga merupakan urusan khusus dan perlu
diselenggarakan secara khusus pula, akhirnya urusan agama dikeluarkan dari
usaha Politea (Polis atau Negara-kota).
Pada abad ke 14 dan 15
di Perancis dipergunakan kata "police" dan di Jerman kata
"polizei" dan perkataan-perkataan itu sudah mengeluarkan urusan agama
dari usaha "politeia" sehingga "politeia" atau
"polis", "la Police" (perancis), "Politeia"
(Itali), "Polizei" (Jerman), "police" (Inggris),
"Politie" (Belanda, "Polis di �Raja"
(Malaysia) dan "Polisi" (Indonesia) hanya meliputi usaha dan urusan
duniawian saja.
Dari abad ke abad kita
ketahui, bahwa dengan berkembangnya urusan negara, untuk effisiensi kerja
diperlukan pembagian tugas dan masing-masing tugas diserahkan kepada badan
pemerintahan yang khusus. Dengan demikian maka secara berturut-turut di
pisahkan dari pengertian "polisi" sebagai usaha negara, pertama
urusan luar negeri (diplomasi), kemudian urusan pertahanan (defensi), disusul
oleh urusan pengadilan (yustisi) dan akhirnya urusan keuangan, sehingga
"polisi" hanya tinggal meliputi bagian urusan negara yang tidak masuk
ke dalam empat bagian tersebut di atas yang dapat disebut dengan bagian
"keranjang sampah"
Semenjak waktu itu
(abad 16) pembagian usaha negara di Eropa Barat lazim dilakukan menjadi lima
"departemen" meliputi :
Departemen Urusan Luar
Negeri.
Departemen Urusan
Pertahanan
Departemen Urusan
Pengadilan
Departemen Urusan
Keuangan
Departemen Urusan
Polisi.
Departemen Urusan
Polisi menyelenggarakan urusan dalam negeri yang meliputi administrasi,
pemerintahan, pembentuk dan pelaksana semua peraturan, yang semuanya itu
"menuju kepada menjaga ketertiban dan keamanan dalam negeri"
Pada awal abad 18
Departemen Urusan Polisi ini meningkatkan usaha negara dalam memajukan
kesejahteraan dan kebahagiaan penduduk , sehingga negara dalam hal ini
mencampuri urusan rakyatnya dalam penyelenggaraan kesejahteraannya dengan
peraturan dan sarana-sarana yang ada padanya, jika perlu dengan paksaan-paksaan
yang akibatnya rakyat tidak bebas lagi dalam geraknya. Dengan turut campurnya
pemerintah dalam segala urusan rakyatnya, baik yang bersifat umum maupun
pribadi, maka rakyat menderita tindakan-tindakan pemerintah yang
sewenang-wenang, sehingga mereka merasa tidak mempunyai kebebasan sama sekali.
Negara dengan departemen polisi semacam itu disebut "Negara Polisi"
dan sebagai reaksi dari negara polisi ini muncul "Negara Hukum" mulai
pada akhir abad 18 yang membebaskan rakyatnya dari campur tangan negara dengan
segala kegiatan mereka.
Negara hanya bertindak
dalam urusan-urusan rakyatnya yang bersifat umum saja, dan dalam hal inipun
negara dibatasi oleh undang-undang, artinya negara hanya boleh bertindak
apabila tindakan itu dengan nyata disebutkan dalam undang-undang. Di luar
Undang-undang negara bersikap pasif dan dalam menyelenggarakan kesejahteraan
dan kebahagian pribadinya, rakyat bebas untuk bertindak sendiri. Kewajiban
negara hanya terbatas pada penjagaan ketertiban dan keamanan umum saja, hanya
bertindak apabila ada serangan atau gangguan terhadap hak-hak pribadi
rakyatnya, yang secara harafiah ditentukan dalam undang-undang.
Undang-undang dipandang
sebagai satu-satunya dasar bagi negara untuk bertindak dan tidak ada hukum lain
di luar undang-undang. Pandangan ini timbul oleh karena kejengkelan rakyat terhadap
pengalaman-pengalamannya di dalam "Negara Polisi" terdahulu, dimana
tindakan-tindakan penguasa, oleh karena tidak ditetapkan dalam undang-undang,
dapat dilakukan dengan sewenang-wenang.
Dalam Negara Hukum
pertama yang bercorak seperti ini, rakyatnya menuntut agar hukum yang
mendasari segala tindakan penguasa harus dengan seksama ditulis dalam
undang-undang dan dibukukan dalam kitab undang-undang.
Setelah masyarakat
selama kurang lebih satu abad hidup dalam suasana Negara Hukum type
pertama ini yang pemerintahnya seakan-akan bersikap pasif, merasa tidak
puas dan timbul paham baru, bahwa kewajiban pemerintah untuk memajukan
masyarakatnya harus lebih luas daripada hanya sekedar terbatas kepada hal-hal
yang dituliskan dalam undang-undang saja.
Pada akhir abad 19,
dimana-mana timbul kesadaran masyarakat, bahwa untuk memajukan perkembangan
bangsa dalam kebudayaan, kesenian dan ilmu pengetahuannya , meninggikan taraf
hidup, kemakmuran dan kesejahteraan, baik jasmaniah maupun rohaniah, negara
harus aktif mempelopori dan mendorong rakyat berusaha sekuat-kuatnya . Pada
waktu itu timbul pendapat baru, bahwa untuk memajukan kesejahteraan dan
kebahagiaan rakyat, penguasa negara tidak terikat hanya pada apa yang
ditetapkan dalam undang-undang, akan tetapi demi untuk kepentingan rakyatnya
dapat mengambil kebijaksanaan berdasarkan hukum yang hidup dan tidak tertulis.
Sesuai pendapat ini timbullah dari Negara Hukum yang lama menjadi Negara
Hukum barudan sifat serta tugas Polisi menyesuaikan dengan perkembangan sifat
negara itu.
IDENTITAS TUGAS POLISI
REPUBLIK INDONESIA
Gambaran tentang Polisi
dan tugas-tugasnya pada umumnya di dunia, telah diketahui bersama, selanjutnya
gambaran Polisi Republik Indonesia tidak jauh berbeda karena sifatnya yang
universal dan sangat elastis menyesuaikan dengan perkembangan sifat negara
masing-masing. Polisi Republik Indonesia sesuai dengan bunyi pembukaan
Undang-Undang Dasar RI 1945 mempunyai sifat negara yang mengutamakan kemajuan
kesejahteraan sosial rakyatnya.
Dari sejarah
pertumbuhan masyarakat dapat diketahui, bahwa sesungguhnya tugas polisi itu
pada mulanya dilakukan sendiri oleh seluruh masyarakat, dengan diasuh oleh para
pemimpinnya. Organ Polisi semula terdiri dari masyarakat sebagai keseluruhan.
Hal ini hingga sekarang masih dapat dijumpai pada taraf masyarakat keluarga,
dimana ayah dan ibu menyelenggarakan tugas polisi dalam keluarga.
Masyarakat berkembang
menjadi semakin kompleks, sehingga untuk effesiensi dan kelancaran pengurusan
kehidupan warganya diperlukan pembagian kerja dan pengkhususan. Kejahatan
sebagai gejala sosial memperlihatkan peningkatan dan intensitas penggunaan
hasil tehnologi dan cara-cara modern. Oleh karena itu maka apa yang telah
dikenal sebagai tugas polisi diserahkan kepada badan negara tersendiri yang
dinamakan Kepolisian Republik Indonesia.
Untuk menciptakan
keamanan dan ketertiban masyarakat, yang ditujukan terutama kepada memperbesar
kegairahan dan kesibukan kerja dalam usaha mencapai kesejahteraan rakyat, baik
materiil maupun spirituil, dimana seluruh rakyat harus diikut sertakan, maka
Kepolisian Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas pokok pada hakekatnya
merupakan salah satu unsur penting dari Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta,
yaitu unsur dari Pertahanan Keamanan Nasional oleh dan untuk rakyat, khususnya
merupakan inti dari penyelenggaraan keamanan dan ketertiban masyarakat.
Oleh karena tugas
penyelenggaraan keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas), sudah ada sejak
adanya masyarakat itu sendiri, timbul dan berkembang sesuai dengan dinamika
masyarakat, maka wajar kiranya apabila polisi merupakan unsur yang tidak
terpisahkan dari masyarakat dan merupakan inti di dalam menciptakan suasana
aman dan tertib di dalam masyarakat itu.
Polisi di dalam
menyelenggarakan Keamanan dan Ketertiban masyarakat tidak berdiri sendiri,
sebab pada hakekatnya seluruh rakyat di dalam kesadarannya untuk menegakkan
hukum, keamanan dan ketertiban masyarakat, dengan menggunakan mass-media dan
sarana-sarana lain adalah pelaksana kaidah-kaidah masyarakat, baik yang
bersifat psikis maupun phisik, turut berperanan pula dalam menyelenggarakan
tugas kepolisian dalam bentuk "sosial control " . Karena
pada dasarnya keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) itu, dalam gejolak
yang dahsyat dalam kehidupan abad tehonologi dan informasi dewasa ini, harus
dipertahankan bersama-sama rakyat.
Diikut sertakannya
masyarakat dalam penyelenggaraan keamanan ketertiban masyarakat dapat kita
lihat antara lain dari ketentuan perundang-undangan yang menyebutkan bahwa
tiap-tiap orang diberi wewenang untuk melakukan penahanan terhadap orang yang
disangka melakukan sesuatu kejahatan atau pelanggaran tertangkap tangan dan
membawanya kepada polisi yang berwajib.
KEPRIBADIAN POLISI
Pada umumnya corak
kepribadian dan ciri-ciri tugas polisi di dunia ini, ditentukan sesuai dengan
corak kepribadian dan type negaranya.
Pada jaman penjajahan
Belanda maupun Jepang corak kepribadian dan tugas polisi itu tidak terlalu
kompleks, bahkan sangat sederhana, yaitu hanyalah sebagai alat pemukul dalam
menegakkan hukum yang diciptakan dan dipaksakan oleh pemerintah kolonial kepada
rakyat jajahannya. Persyaratan bagi polisi tidak banyak, tidak perlu ada
pendidikan perwira polisi yang akademis atau universiter, cukup dengan
pendidikan physik yang kuat sebagai pemukul dan sekedar pengetahuan hukum
penegak kepentingan penjajahan. Dalam alam kolonial, apabila dilihat dari sudut
kesejahteraan negara dan rakyatnya, polisi pada hakekatnya hanyalah berupa alat
pelaksana yang mati, karena polisi sengaja dijauhkan dari perasaan, cita-cita
dan hati nurani rakyatnya.
Sesuai dengan coraknya
yang sederhana dari tugasnya itu, maka pada waktu itu organisasi kepolisian
tidak perlu berstatus departemen atau kementrian sendiri, akan tetapi cukup
dibebankan kepada pejabat eksekutip. Pada jaman penjajahan Belanda polisi masuk
lingkungan Departemen Dalam Negeri. Di Jaman penjajahan Jepang Polisi masuk
dalam lingkungan Keamanan. Tugas polisi hanya sekedar sebagai pembantu
kehakiman dan pamong praja saja.
Pada detik Proklamasi
17 Agustus 1945 lahirlah Negara Republik Indonesia dengan Undang Undang
Dasar-nya yang berlandaskan Pancasila. Pada hakekatnya pada detik itu juga
sebagai salah satu unsur dari Negara Republik Indonesia, lahirlah
pula Polisi Republik Indonesia yang dalam suatu Sidang Panitia Persiapan
Kemerdekaan tanggal 19 Agustus 1945 ditetapkan masuk dalam lingkungan
Departemen Dalam Negeri dengan sebutan " Jawatan Kepolisian Negara
"
Ciri khas kepribadian
Polisi Negara RI, tidak lain daripada suatu pengabdian dan kesetiaan kepada
Nusa dan Bangsa Indonesia. Polisi senantiasa mengutamakan kepentingan umum dan
kejayaan negara di atas kepentingan partai, golongan dan pribadi. Polisi
berpandangan hidup, kesadaran, cita-cita hukum serta moral yang meliputi
kejiwaan dan watak bangsa Indonesia.
Upaya merobah sikap
mental dan perilaku aparatur kepolisian dari status kolonial yang beroman muka
sebagai penindas menjadi roman muka Kepolisian Indonesia merdeka sebagai
penegak hukum, pembina ketertiban dan keamanan masyarakat dalam rangka keamanan
dalam negeri senantiasa menjadi mission Polisi RI sepanjang masa.
Dalam pengabdiannya
kepada masyarakat yang bercita-citakan kehidupan yang tertib, aman sentausa dan
sejahtera sesuai dengan amanat para leluhur kita menciptakan masyarakat
yang "tata-tentram, kerta-raharja" lahirlah dalam jiwa
Polisi RI, keinsyafan akan pedoman hidup,
yaitu "tribrata" yang di ikrarkan oleh segenap anggota
kepolisian pada tanggal 1 Juli 1955, yang berisikan azas-azas :
Polisi itu : Abdi Utama
Nusa dan Bangsa
Polisi itu : Warga
Negara Utama Negara
Polisi itu : Wajib
menjaga ketertiban pribadi rakyat.
Azas-azas dalam
Tribrata inilah yang wajib dipedomani bagi seluruh anggota Polisi RI yang
merdeka berbeda dengan roman muka polisi kolonial yang lebih beroman muka
penindas.
Sikap dan perilaku
Polisi RI, pada dasarnya merupakan penjabaran dari Tribrata sebagai berikut :
Wujud sikap dan
perilaku seorang polisi RI, yang menyatakan dirinya sebagai Abdi utama Nusa dan
Bangsa adalah sebagai berikut :
Berbhakti kepada Nusa
dan Bangsa adalah kehormatan tertinggi.
Melaksanakan tugas nya
dengan penuh kesungguhan, keikhlasan dan perasaan tanggung jawab.
Menolong sesama manusia
dengan tulus ikhlas tanpa mengharapkan balasan apapun.
Menanam kepercayaan di
kalangan masyarakat, dengan tingkah lakunya yang tiada tercela dan lepas segala
pamrih.
Membhaktikan diri
kepada Negara dan masyarakat dengan hasrat yang tiada kunjung padam serta
pantang mundur.
Wujud sikap dan
perilaku seorang polisi RI, yang menyatakan dirinya sebagai Warga Negara Utama
Negara adalah sebagai berikut :
Dalam melakukan
tugasnya dengan kesetiaan serta ketaatan kepada negara dan Pemerintahnya.
Menjunjung tinggi
hukum, bersikap tidak berat sebelah dan berdiri di atas segala aliran dan paham
politik.
Bersikap ramah tamah
dan memperlakukan setiap anggota masyarakat sebagai sesama warga negara yang
sederajat.
Melindungi Hak-hak
Azasi tiap-tiap anggota masyarakat, yang berintikan kebebasan dari segala
ketakutan.
Segala tingkah lakunya
memberi teladan sesama warga negara lainnya, serta mempelopori pembinaan
kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat.
Wujud sikap dan
perilaku seorang Polisi RI, yang menyatakan dirinya sebagai Insan yang wajib
menjaga ketertiban pribadi rakyat, adalah sebagai berikut :
Selalu bersikap waspada
di dalam melaksanakan tugasnya.
Bersikap adil dan
bijaksana tanpa membedakan golongan, kedudukan atau kekayaan.
Menjunjung tinggi
kejujuran, kebersihan dan kesederhanaan
Bersikap tenang, sabar,
sopan santun dan tiada terombang ambing oleh keadaan apapun juga yang
dihadapinya.
Berkesadaran diri untuk
memupuk ketertiban pribadi yang didasarkan atas nurani yang murni.
Nilai-nilai yang
tersimpul dalam Tribrata itu amat luas dan luhur. Tribrata
bukanlah "semboyan" atau "pedoman", akan
tetapi merupakan suatu keinsyafan pribadi yang diikrarkan dengan penuh
kesungguhan dan khidmat
Dalam melaksanakan
tugas kepolisian tiap detik, maka tiap langkah anggota Polsi RI akan
benar-benar diikuti dengan unsur-unsur Tribrata. Tribrata bukan suatu ikrar
yang kosong, akan tetapi harus benar-benar diamalkan anggota polisi siapa saja,
dimana saja dan kapan saja. Tanpa mengamalkan Tribrata, petugas Polisi RI akan
gagal dalam menunaikan dharma-bhaktinya kepada Kesatuan, Nusa dan
Bangsanya.Sungguh tidak ringan pengabdian dan pengorbanan seorang anggota
Polisi Republik Indonesia itu.
Bertepatan dengan
Pancawarsa Hari Kepolisian tanggal 1 Juli 1960 di Yogyakarta, kepada seluruh
anggota Kepolisian RI oleh Presiden Soekarno
diamanatkan Catur-Prasetia, agar diamalkan sebagai pedoman karya.
Catur artinya empat dan Prasetia berarti janji (kesanggupan, tekad), yang
bunyinya sebagai berikut :
supaya
Bhayangkara Satya Haprabu,
supaya
Bhayangkara Hanyaken Musuh,
supaya
Bhayangkara Gineung Pratidina,
supaya
Bhayangkara Tan Satrisna.
Satya Haprabu, berarti
setia kepada Negara Republik Indoensia. Prabu disini berarti Pucuk Lambang
Negara, yaitu Negara Republik Indonesia, jadi Setia kepada Negara dan
Pimpinan Negara.
Hanyaken
Musuh, berarti meniadakan musuh, dengan kata lain melenyapkan musuh, perintang
dan gangguan keamanan negara serta pimpinan negara,mengenyahkan musuh-musuh
negara, masyarakat dan rakyatnya.
Gineung
Pratidina, berarti mengagungkan tiap hari dan tiap malam, dengan kata lain
seluruh anggota Polisi RI tiap-tiap hari, tiap-tiap malam, tiap-tiap jam dan
tiap-tiap menit harus mengagung Negara Republik Indonesia ."Rame ing gawe
mengabdi dan mengagungkan negara"
Tan Satrisna, berarti
tidak boleh terikat oleh sesuatu di dunia ini. Tidak merasa diberati, tidak
merasa terikat kepada sesuatu, tidak terikat kepada rasa tresna (cinta) yang
bermakna, tidak merasa berat menjlankan tugas kepolisian, tidak merasa berat
untuk berkorban didalam membaktikan diri kepada pada negara, oleh karena tidak
diberati oleh keluarga, harta benada atau kemuliaan pribadi dan lain
sebagainya. "Tanpa terikat oleh suatu apapun dalam mengutamakan
kewajibannya, sepi ing pamrih".
Catur
Prasetya merupakan pedoman karya Kepolisian Republik Indonesia dan harus
diamalkan oleh seluruh anggota Polisi RI.
POLISI
LALU LINTAS
Sejarah Polisi Lalu
lintas di Indonesia tidak lepas dari sejarah Kepolisian itu sendiri khususnya
Polisi secara universal. Karena itu untuk lebih mengenal sejarah Polisi lalu
lintas maka seyogyanya kita awali dengan berbagai sejarah Polisi itu sendiri.
Sejarah istilah “polisi” ternyata mempunyai arti yang berbeda-beda, hal ini pada kenyataanya dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu negara, bahasa dan sejarah lingkup tugas dan wewenang polisi. Faktor negara dalam hal ini sejarah suatu negara akan berpengaruh dalam pembentukan pengertian istilah “polisi”, tentu saja negara-negara yang dijajah oleh negara lain juga akan terpengaruh terhadap perkembangan/sejarah istilah “polisi” oleh negara yang menjajah. Istilah “polisi” dalam bahasa yang berbeda mempunyai arti yang khusus, sesuai dengan pengertian yang dikehendaki dimana bahasa tersebut yang dipengaruhi oleh keadaan sosial budaya.
Dalam perkembangannya sejarah istilah “polisi” telah mengalami berbagai perubahan yang diakibatkan terjadinya penyempitan dan pengkhususan tugas dan wewenang institusi polisi. Penyempitan dan pengkhususan tugas-tugas/wewenang polisi dilakukan dalam upaya membatasi tugas dan wewenang polisi yang sangat kompleks dan teramat luas, sehingga tugas dan wewenang polisi sesuai dengan perkembangan keadaan dan tuntutan masyarakatnya.
Negara Inggris menggunakan istilah Constable yang mengandung 2 (dua) macam arti, yaitu : (1) Police Constable sebagai sebutan untuk pangkat terendah di kalangan kepolisian dan (2) Office Constable yang mengandung arti kantor polisi. Sedangkan Amerika Serikat menggunakan istilah Sheriff yang sebenarnya berasal dari bangunan sosial Inggris. Negara Jerman menggunakan istilah Polizei yang mengandung arti luas yaitu meliputi : (1) Urusan kesejahteraan rakyat (Wohlfahrts Polizei), yang mendekati mengertian pamong praja atau Bestuur, mengusahakan kesejahteraan, keamanan dan penolakan bahaya; dan (2) Urusan keamanan (Sicherheits Polizei) yang mengandung arti polisi keamanan.
Negara Yunani menggunakan istilah Politeia yang mengandung arti luas meliputi seluruh pemerintahan negara kota, termasuk urusan-urusan keagamaan seperti penyembahan terhadap dewa-dewanya. Berbeda dengan Yunani, negara Romawi menggunakan istilah Politia yang berarti pemerintahan negara. Di Indonesia istilah Polisi berasal dari proses indonesianisasi dari istilah Belanda Politie. Dalam rangka Catur Praja dari Van Vollenhoven, istilah “polisi” terbagi dalam : Bestuur (eksekutif), Politie (polisi), Rechtspraak (yudikatif), Regeling (legislatif).
Jika merunut pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maka pengertian Polisi secara umum adalah badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum, sedangkan pengertian polisi lalu lintas adalah polisi yang memelihara keamanan dan keselamatan lalu lintas (KBBI, 2001:886). Untuk lebih mengenal sejarah polisi lalu lintas di Indonesia, maka penulis akan mengupasnya berdasarkan periode waktu sebagai berikut :
Sejarah istilah “polisi” ternyata mempunyai arti yang berbeda-beda, hal ini pada kenyataanya dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu negara, bahasa dan sejarah lingkup tugas dan wewenang polisi. Faktor negara dalam hal ini sejarah suatu negara akan berpengaruh dalam pembentukan pengertian istilah “polisi”, tentu saja negara-negara yang dijajah oleh negara lain juga akan terpengaruh terhadap perkembangan/sejarah istilah “polisi” oleh negara yang menjajah. Istilah “polisi” dalam bahasa yang berbeda mempunyai arti yang khusus, sesuai dengan pengertian yang dikehendaki dimana bahasa tersebut yang dipengaruhi oleh keadaan sosial budaya.
Dalam perkembangannya sejarah istilah “polisi” telah mengalami berbagai perubahan yang diakibatkan terjadinya penyempitan dan pengkhususan tugas dan wewenang institusi polisi. Penyempitan dan pengkhususan tugas-tugas/wewenang polisi dilakukan dalam upaya membatasi tugas dan wewenang polisi yang sangat kompleks dan teramat luas, sehingga tugas dan wewenang polisi sesuai dengan perkembangan keadaan dan tuntutan masyarakatnya.
Negara Inggris menggunakan istilah Constable yang mengandung 2 (dua) macam arti, yaitu : (1) Police Constable sebagai sebutan untuk pangkat terendah di kalangan kepolisian dan (2) Office Constable yang mengandung arti kantor polisi. Sedangkan Amerika Serikat menggunakan istilah Sheriff yang sebenarnya berasal dari bangunan sosial Inggris. Negara Jerman menggunakan istilah Polizei yang mengandung arti luas yaitu meliputi : (1) Urusan kesejahteraan rakyat (Wohlfahrts Polizei), yang mendekati mengertian pamong praja atau Bestuur, mengusahakan kesejahteraan, keamanan dan penolakan bahaya; dan (2) Urusan keamanan (Sicherheits Polizei) yang mengandung arti polisi keamanan.
Negara Yunani menggunakan istilah Politeia yang mengandung arti luas meliputi seluruh pemerintahan negara kota, termasuk urusan-urusan keagamaan seperti penyembahan terhadap dewa-dewanya. Berbeda dengan Yunani, negara Romawi menggunakan istilah Politia yang berarti pemerintahan negara. Di Indonesia istilah Polisi berasal dari proses indonesianisasi dari istilah Belanda Politie. Dalam rangka Catur Praja dari Van Vollenhoven, istilah “polisi” terbagi dalam : Bestuur (eksekutif), Politie (polisi), Rechtspraak (yudikatif), Regeling (legislatif).
Jika merunut pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maka pengertian Polisi secara umum adalah badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum, sedangkan pengertian polisi lalu lintas adalah polisi yang memelihara keamanan dan keselamatan lalu lintas (KBBI, 2001:886). Untuk lebih mengenal sejarah polisi lalu lintas di Indonesia, maka penulis akan mengupasnya berdasarkan periode waktu sebagai berikut :
A. Jaman Penjajahan
a. Penjajahan Belanda
Perkembangan lalu lintas di Indonesia pada umumnya sangat dipengaruhi oleh perkembangan dunia otomotif secara global. Dunia otomotif sendiri mengalami perkembangan sejak ditemukannya teknologi mobil dan motor yang berkembang di Eropa pada abad ke-19. Pemerintah Hindia Belanda yang saat itu menjajah Indonesia mulai membawa mobil dan sepeda motor masuk ke Indonesia. Mulai munculnya aktivitas lalu lintas kendaraan bermotor di Indonesia. Ketika mobil dan sepeda motor bertambah banyak Pemerintah Hindia Belanda mulai merasa perlu mengatur penggunaannya. Peraturan pertama di keluarkan pertama kali pada tanggal 11 Nopember 1899 dan dinyatakan berlaku tepat tanggal 1 Januari 1900. Bentuk peraturan ini adalah Reglement (Peraturan Pemerintah) yang disebut Reglement op gebruik van automobilen ( stadblaad 1899 no 301 ). Peraturan ini kemudian diubah pada tahun 1910 yang ditandai dengan dikeluarkannya Motor Reglement (stb 1910 No.73). Peraturan itu sendiri dikeluarkan dikarenakan semakin banyaknya kendaraan bermotor yang masuk ke Indonesia sebagai sarana mobilisasi penjajah Belanda.
Organ kepolisian sendiri telah ada lebih awal sejak jaman VOC, namun baru di pertegas susunannya pada masa pemerintah Gubernur Jenderal Sanford Raffles, masa pendudukan Inggris. Kala itu, kantor Polisi hanya dibangun pada kota-kota tertentu yang termasuk dalam kategori kota besar seperti Jayakarta, Semarang, dan Surabaya. Untuk mengimbangi perkembangan lalu lintas yang terus meningkat, maka pemerintah Hindia Belanda memandang perlu membentuk wadah Polisi tersendiri yang khusus menangani lalu lintas, sehingga pada tanggal 15 Mei 1915, dengan Surat Keputusan Direktur Pemerintah Dalam Negeri No. 64/a lahirlah satu organ Polisi Lalu Lintas dalam tubuh Polisi Hindia Belanda.
Dalam organ Polisi pada waktu itu ada empat bagian, yaitu bagian sekretaris, bagian serse, bagian pengawas umum dan bagian lalu lintas. Pada mulanya bagian lalu lintas di sebut Voer Wesen, sebagai jiplakan dari bahasa Jerman “Fuhr Wessen” yang berarti pengawasan lalu lintas. Organ ini terus disempurnakan, diberi nama asli dalam bahasa Belanda Verkeespolitie artinya Polisi Lalu Lintas.
Selama penjajahannya Pemerintah Hindia Belanda aktif membuat aturan – aturan mengenai Polisi Lalu Lintas. Pada tanggal 23 Februari 1933 dikeluarkan Undang – undang lalu lintas jalan dengan nama : DE Wegverkeers Ordonantie (stadblaad No68). Undang – undang ini terus disempurnakan tanggal 1 Agustus 1933 (stadblaad No 327). Tanggal 27 Februari 1936 ( stadblaad No 83), tanggal 25 Nopember 1938 ( stadblaad No 657 dan terakhir tanggal 1 Maret 1940 (stadblaad No 72). Peraturan-peraturan tersebut dibuat dan disahkan oleh pemerintah Hindia Belanda selain bertujuan untuk mengatur ketertiban kendaraan bermotor juga diperuntukkan guna pengembangan jalan dalam kota, jalan antar kota, maupun jalan-jalan lintas lainnya yang berguna bagi akses perpindahan para penjajah.
a. Penjajahan Belanda
Perkembangan lalu lintas di Indonesia pada umumnya sangat dipengaruhi oleh perkembangan dunia otomotif secara global. Dunia otomotif sendiri mengalami perkembangan sejak ditemukannya teknologi mobil dan motor yang berkembang di Eropa pada abad ke-19. Pemerintah Hindia Belanda yang saat itu menjajah Indonesia mulai membawa mobil dan sepeda motor masuk ke Indonesia. Mulai munculnya aktivitas lalu lintas kendaraan bermotor di Indonesia. Ketika mobil dan sepeda motor bertambah banyak Pemerintah Hindia Belanda mulai merasa perlu mengatur penggunaannya. Peraturan pertama di keluarkan pertama kali pada tanggal 11 Nopember 1899 dan dinyatakan berlaku tepat tanggal 1 Januari 1900. Bentuk peraturan ini adalah Reglement (Peraturan Pemerintah) yang disebut Reglement op gebruik van automobilen ( stadblaad 1899 no 301 ). Peraturan ini kemudian diubah pada tahun 1910 yang ditandai dengan dikeluarkannya Motor Reglement (stb 1910 No.73). Peraturan itu sendiri dikeluarkan dikarenakan semakin banyaknya kendaraan bermotor yang masuk ke Indonesia sebagai sarana mobilisasi penjajah Belanda.
Organ kepolisian sendiri telah ada lebih awal sejak jaman VOC, namun baru di pertegas susunannya pada masa pemerintah Gubernur Jenderal Sanford Raffles, masa pendudukan Inggris. Kala itu, kantor Polisi hanya dibangun pada kota-kota tertentu yang termasuk dalam kategori kota besar seperti Jayakarta, Semarang, dan Surabaya. Untuk mengimbangi perkembangan lalu lintas yang terus meningkat, maka pemerintah Hindia Belanda memandang perlu membentuk wadah Polisi tersendiri yang khusus menangani lalu lintas, sehingga pada tanggal 15 Mei 1915, dengan Surat Keputusan Direktur Pemerintah Dalam Negeri No. 64/a lahirlah satu organ Polisi Lalu Lintas dalam tubuh Polisi Hindia Belanda.
Dalam organ Polisi pada waktu itu ada empat bagian, yaitu bagian sekretaris, bagian serse, bagian pengawas umum dan bagian lalu lintas. Pada mulanya bagian lalu lintas di sebut Voer Wesen, sebagai jiplakan dari bahasa Jerman “Fuhr Wessen” yang berarti pengawasan lalu lintas. Organ ini terus disempurnakan, diberi nama asli dalam bahasa Belanda Verkeespolitie artinya Polisi Lalu Lintas.
Selama penjajahannya Pemerintah Hindia Belanda aktif membuat aturan – aturan mengenai Polisi Lalu Lintas. Pada tanggal 23 Februari 1933 dikeluarkan Undang – undang lalu lintas jalan dengan nama : DE Wegverkeers Ordonantie (stadblaad No68). Undang – undang ini terus disempurnakan tanggal 1 Agustus 1933 (stadblaad No 327). Tanggal 27 Februari 1936 ( stadblaad No 83), tanggal 25 Nopember 1938 ( stadblaad No 657 dan terakhir tanggal 1 Maret 1940 (stadblaad No 72). Peraturan-peraturan tersebut dibuat dan disahkan oleh pemerintah Hindia Belanda selain bertujuan untuk mengatur ketertiban kendaraan bermotor juga diperuntukkan guna pengembangan jalan dalam kota, jalan antar kota, maupun jalan-jalan lintas lainnya yang berguna bagi akses perpindahan para penjajah.
b. Penjajahan Jepang
Seperti yang kita ketahui, pada perang Asia Timur Raya Belanda dipaksa menyerah pada kekuatan militer Jepang. Demikian pula dengan Indonesia yang kala itu dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda ganti diambil alih oleh kekuasaan Jepang yang lebih mengandalkan kekuatan militer. Begitu pula bidang lalu lintas juga diatur dan dikuasasi dengan cara militer. Dalam organ kepolisian hanya ada organ Kempetai (Polisi Militernya Jepang).
Masa penjajahan Jepang, pengatur jalan raya diambil alih oleh polisi militer, sedangkan Polisi Lalu Lintas tidak nampak dan tidak banyak diketahui perannya ketika itu. Sampai dengan mundurnya penjajah Jepang akibat kekalahannya pada perang melawan sekutu, peranan polisi lalu lintas tidak banyak meninggalkan catatan sejarah di Indonesia.
Seperti yang kita ketahui, pada perang Asia Timur Raya Belanda dipaksa menyerah pada kekuatan militer Jepang. Demikian pula dengan Indonesia yang kala itu dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda ganti diambil alih oleh kekuasaan Jepang yang lebih mengandalkan kekuatan militer. Begitu pula bidang lalu lintas juga diatur dan dikuasasi dengan cara militer. Dalam organ kepolisian hanya ada organ Kempetai (Polisi Militernya Jepang).
Masa penjajahan Jepang, pengatur jalan raya diambil alih oleh polisi militer, sedangkan Polisi Lalu Lintas tidak nampak dan tidak banyak diketahui perannya ketika itu. Sampai dengan mundurnya penjajah Jepang akibat kekalahannya pada perang melawan sekutu, peranan polisi lalu lintas tidak banyak meninggalkan catatan sejarah di Indonesia.
B. Jaman Kemerdekaan
a. Periode 1945-1950
Kemerdekaan Indonesia sesungguhnya juga tidak terlepas dari peranan para tokoh-tokoh Polisi dijaman tersebut. Tokoh – tokoh Polisi tersebut antara lain R.S. Soekanto dan R. Sumanto. Peranan para tokoh itu pulalah yang mengawali perkembangan Kepolisian Negara Republik Indonesia, utamanya pasca proklamasi 17 Agustus 1945. Tanggal 19 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menetapkan bahwa Polisi termasuk di dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri.
Dalam rangka membentuk lembaga kepolisian yang terstruktur dan organisasional Presiden Soekarno menunjuk Raden Said Soekanto Cokrodiatmojo sebagai Kepala Kepolisian Negara RI atas saran dari Iwa Kusumasumantri dan Mr. Sartono. Penunjukan ini dilakukan dalam sidang kabinet pada tanggal 29 September 1945 tanpa sepengetahuan dirinya. Pengangkatan Soekanto sebagai Kepala Kepolisian Negara merupakan langkah awal pembentukan kepolisian nasional yang integratif. Hal ini terlihat dari upaya untuk menyatukan satuan-satuan polisi di daerah yang mandiri dan tanpa koordinasi setelah kemerdekaan dalam Kepolisian Negara RI. Sejak peresmiannya, Kepolisian Negara memikul tanggungjawab keamanan yang berat karena tentara nasional belum dibentuk secara resmi.
Pada bulan Februari 1946 Jawatan Kepolisian yang tergabung di dalam Departemen Dalam Negeri memindahkan kantor pusat / kedudukannya di Purwokerto. Karena kesulitan yang dihadapi oleh Jawatan Kepolisian pada waktu itu sedangkan mereka sangat dibutuhkan maka pada tanggal 1 Juli 1946 dengan Penetapan Pemerintah No. 11 /SD tahun 1946 Jawatan Kepolisian Negara dipisahkan dari Departemen Dalam Negeri dan menjadi Jawatan sendiri dibawah Perdana Menteri, tanggal ini selanjutnya di jadikan tanggal kelahiran dan dijadikan hari Bhayangkara. Pada periode ini Jawatan Kepolisian Negara, mulai membenahi wadah – wadah, organisasi kepolisian walaupun menghadapi berbagai kendala. Usaha – usaha yang telah dilakukan antara lain:
1) Menyusun suatu Jawatan pusat dengan bagian – bagiannya. Tata Usaha Keuangan, Perlengkapan, Organisasi Pengawasan Aliran Masyarakat dan Pengusutan Kejahatan.
2) Menciptakan peraturan – peraturan mengenai pakaian dinas, tanda pangkat, tata tertib dan tata susila, baris berbaris dan lain – lain.
3) Menyusun kembali Polisi Lalu Lintas, dengan tugas lain yang pada saat dan waktu mendatang diperlukan.
a. Periode 1945-1950
Kemerdekaan Indonesia sesungguhnya juga tidak terlepas dari peranan para tokoh-tokoh Polisi dijaman tersebut. Tokoh – tokoh Polisi tersebut antara lain R.S. Soekanto dan R. Sumanto. Peranan para tokoh itu pulalah yang mengawali perkembangan Kepolisian Negara Republik Indonesia, utamanya pasca proklamasi 17 Agustus 1945. Tanggal 19 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menetapkan bahwa Polisi termasuk di dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri.
Dalam rangka membentuk lembaga kepolisian yang terstruktur dan organisasional Presiden Soekarno menunjuk Raden Said Soekanto Cokrodiatmojo sebagai Kepala Kepolisian Negara RI atas saran dari Iwa Kusumasumantri dan Mr. Sartono. Penunjukan ini dilakukan dalam sidang kabinet pada tanggal 29 September 1945 tanpa sepengetahuan dirinya. Pengangkatan Soekanto sebagai Kepala Kepolisian Negara merupakan langkah awal pembentukan kepolisian nasional yang integratif. Hal ini terlihat dari upaya untuk menyatukan satuan-satuan polisi di daerah yang mandiri dan tanpa koordinasi setelah kemerdekaan dalam Kepolisian Negara RI. Sejak peresmiannya, Kepolisian Negara memikul tanggungjawab keamanan yang berat karena tentara nasional belum dibentuk secara resmi.
Pada bulan Februari 1946 Jawatan Kepolisian yang tergabung di dalam Departemen Dalam Negeri memindahkan kantor pusat / kedudukannya di Purwokerto. Karena kesulitan yang dihadapi oleh Jawatan Kepolisian pada waktu itu sedangkan mereka sangat dibutuhkan maka pada tanggal 1 Juli 1946 dengan Penetapan Pemerintah No. 11 /SD tahun 1946 Jawatan Kepolisian Negara dipisahkan dari Departemen Dalam Negeri dan menjadi Jawatan sendiri dibawah Perdana Menteri, tanggal ini selanjutnya di jadikan tanggal kelahiran dan dijadikan hari Bhayangkara. Pada periode ini Jawatan Kepolisian Negara, mulai membenahi wadah – wadah, organisasi kepolisian walaupun menghadapi berbagai kendala. Usaha – usaha yang telah dilakukan antara lain:
1) Menyusun suatu Jawatan pusat dengan bagian – bagiannya. Tata Usaha Keuangan, Perlengkapan, Organisasi Pengawasan Aliran Masyarakat dan Pengusutan Kejahatan.
2) Menciptakan peraturan – peraturan mengenai pakaian dinas, tanda pangkat, tata tertib dan tata susila, baris berbaris dan lain – lain.
3) Menyusun kembali Polisi Lalu Lintas, dengan tugas lain yang pada saat dan waktu mendatang diperlukan.
Dasar penyusunan
kembali Polisi Lalu Lintas tersebut secara resmi tidak diketahui, namun
penyusunan ini mudah disebabkan keadaan lalu lintas yang memang masih belum
seramai seperti sekarang ini. Jumlah kendaraan di masa pendudukan Jepang masih
sangat sedikit. Sisa kendaraan dari masa pendudukan Jepang yang ditinggal
sedikit menjadi semakin berkurang, karena usia dan suku cadang yang tidak
tersedia atau sulit mencari gantinya. Pada periode ini masalah lalu lintas
belum mendapat perhatian yang sungguh – sungguh. Pada tanggal 1 Agustus 1947
Dewan Pertahanan Negara melalui aturan No. 112 memasukkan Kepolisian Negara
sebagian atau seluruhnya menjadi kesatuan tentara. Polisi dianggap perlu
menjadi bagian dari militer dalam rangka mempertahankan negara RI dari
rongrongan Belanda. Fungsi ketentaraan ini dijalankan oleh Korps Mobile Brigade
yang membantu perjuangan tentara melawan agresi Belanda.
Sesuai Dengan perjanjian KMB, Indonesia diharuskan mengganti sistem ketatanegaraan nya menjadi bentuk federal yang terdiri dari negara-negara bagian maka Republik Indonesia pun berdiri dan UUD 1945 dianggap tidak berlaku lagi karena tidak sesuai dengan prinsip negara federal. Wilayah RIS sendiri terdiri atas Negara Republik Indonesia, Negara Indoneisa Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatera Timur, Negara Sumatera Selatan, daerah Jawa Tengah, Daerah Bangka, Belitung, Riau, Dayak Besar, Banjar, Kalimantan Tenggara, Kalimantan Timur, dan daerah Istimewa Kalimantan Barat. Pada tanggal 16 Desember 1949 di Yogyakarta Ir. Soekrano dipilih sebagai Presiden RIS, Moh. Hatta menjadi perdana Menteri, dan Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IX sebagai Koordinator Keamanan yang memegang kekuasaan tertinggi atas kepolisian dan institusi kemiliteran, sedangkan sebagai wakilnya diangkat Kepala Kepolisian Negara R.S. Soekanto yang menangani tanggung jawab kepolisian.
Meski banyak rintangan dan kesulitan yang menghadang, usaha-usaha untuk membangun Jawatan kepolisian RIS yang sesuai dengan keppres No. 22 tahun 1950 terus dilakukan. Dalam menghadapi situasi keamanan yang belum stabil, sangat diperlukan sebuah kepolisian yang sentralistik di bidang kebijaksanaan teknis maupun administrasi. Melalaui Penetapan Perdana Menteri No. 3 tanggal 27 Januari 1950 pimpinan kepolisian diserahkan kepada Menteri pertahanan dengan maksud memusatkan pimpinan kepolisian dan ketentaraan dalam satu atap.
Sesuai Dengan perjanjian KMB, Indonesia diharuskan mengganti sistem ketatanegaraan nya menjadi bentuk federal yang terdiri dari negara-negara bagian maka Republik Indonesia pun berdiri dan UUD 1945 dianggap tidak berlaku lagi karena tidak sesuai dengan prinsip negara federal. Wilayah RIS sendiri terdiri atas Negara Republik Indonesia, Negara Indoneisa Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatera Timur, Negara Sumatera Selatan, daerah Jawa Tengah, Daerah Bangka, Belitung, Riau, Dayak Besar, Banjar, Kalimantan Tenggara, Kalimantan Timur, dan daerah Istimewa Kalimantan Barat. Pada tanggal 16 Desember 1949 di Yogyakarta Ir. Soekrano dipilih sebagai Presiden RIS, Moh. Hatta menjadi perdana Menteri, dan Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IX sebagai Koordinator Keamanan yang memegang kekuasaan tertinggi atas kepolisian dan institusi kemiliteran, sedangkan sebagai wakilnya diangkat Kepala Kepolisian Negara R.S. Soekanto yang menangani tanggung jawab kepolisian.
Meski banyak rintangan dan kesulitan yang menghadang, usaha-usaha untuk membangun Jawatan kepolisian RIS yang sesuai dengan keppres No. 22 tahun 1950 terus dilakukan. Dalam menghadapi situasi keamanan yang belum stabil, sangat diperlukan sebuah kepolisian yang sentralistik di bidang kebijaksanaan teknis maupun administrasi. Melalaui Penetapan Perdana Menteri No. 3 tanggal 27 Januari 1950 pimpinan kepolisian diserahkan kepada Menteri pertahanan dengan maksud memusatkan pimpinan kepolisian dan ketentaraan dalam satu atap.
b. Periode 1950-1959
Setelah penyerahan kedaulatan Negara R.l tanggal 29 Desember 1949 baru dapat dilanjutkan kembali. Pimpinan Polisi di daerah pendudukan yang dipegang oleh kader – kader Belanda di ganti oleh kader – kader Polisi Indonesia. Hanya dalam mereorganisasi Kepolisian Indonesia dinamakan Jawatan Kepolisian dan pada masa terbentuknya Negara Kesatuan tanggal 17 Agustus 1950 berubah namanya menjadi Jawatan Kepolisian Negara.
Karena kemajuan dan perkembangan masyarakat yang mulai perlu diantisipasi maka organisasi Polisi memerlukan penyesuaian agar dapat mewadahi dan menangani pekerjaan dengan cepat. Untuk itu diperlukan spesialisasi. Sehingga tanggal 9 Januari 1952 dikeluarkan order KKN No.6 / IV / Sek / 52. Tahun 1952 mulai pembentukan kesatuan – kesatuan khusus seperti Polisi Perairan dan Udara serta Polisi Lalu Lintas yang dimasukkan dalam pengurusan bagian organisasi.
Untuk Polisi Lalu Lintas di wilayah Jakarta Raya merupakan bagian tersendiri yang mempunyai rumusan tugas sebagai berikut : (1) Mengurus lalu lintas; (2)Mengurus kecelakaan lalu lintas; (3) Pendaftaran nomor bewijs; (4) Motor Brigade keramaian; dan (5) Komando pos radio dan bengkel.
Dengan kemajuan teknologi dan perkembangan lalu lintas yang semakin pesat Kepala Jawatan Kepolisian Negara memandang perlu untuk membangun wadah yang konkrit bagi penanganan -penanganan masalah lalu lintas. Oleh karenanya maka pada tanggal 22 September 1955. Kepala Jawatan Kepolisian Negara mengeluarkan Order No 20 / XVI / 1955 tanggal 22 September 1955, tentang Pembentukan Seksi Lalu Lintas Jalan, pada tingkat pusat yang taktis langsung di bawah Kepala Kepolisian Negara. Maka saat itu dikenal istilah lalu lintas jalan untuk pertama kalinya, yang mempunyai rumusan tugas sebagai berikut:
1) Mengumpulkan segala bahan yang bersangkutan dengan urusan lalu lintas jalan.
2) Memelihara / mengadakan peraturan, peringatan dan grafik tentang kecelakaan lalu lintas , jumlah pemakai jalan, pelanggaran lalu lintas jalan.
3) Mengadakan pengawasan atas pelaksanaan perundang – undangan lalu lintas jalan dan menyiapkan instruksi guna pelaksanaan di berbagai daerah.
4) Melayani sebab – sebab kecelakaan lalu lintas jalan di berbagai tempat di Indonesia, dan menyiapkan instruksi dan petunjuknya guna menurunkan / mengurangi angka kecelakaan lalu lintas.
Setelah penyerahan kedaulatan Negara R.l tanggal 29 Desember 1949 baru dapat dilanjutkan kembali. Pimpinan Polisi di daerah pendudukan yang dipegang oleh kader – kader Belanda di ganti oleh kader – kader Polisi Indonesia. Hanya dalam mereorganisasi Kepolisian Indonesia dinamakan Jawatan Kepolisian dan pada masa terbentuknya Negara Kesatuan tanggal 17 Agustus 1950 berubah namanya menjadi Jawatan Kepolisian Negara.
Karena kemajuan dan perkembangan masyarakat yang mulai perlu diantisipasi maka organisasi Polisi memerlukan penyesuaian agar dapat mewadahi dan menangani pekerjaan dengan cepat. Untuk itu diperlukan spesialisasi. Sehingga tanggal 9 Januari 1952 dikeluarkan order KKN No.6 / IV / Sek / 52. Tahun 1952 mulai pembentukan kesatuan – kesatuan khusus seperti Polisi Perairan dan Udara serta Polisi Lalu Lintas yang dimasukkan dalam pengurusan bagian organisasi.
Untuk Polisi Lalu Lintas di wilayah Jakarta Raya merupakan bagian tersendiri yang mempunyai rumusan tugas sebagai berikut : (1) Mengurus lalu lintas; (2)Mengurus kecelakaan lalu lintas; (3) Pendaftaran nomor bewijs; (4) Motor Brigade keramaian; dan (5) Komando pos radio dan bengkel.
Dengan kemajuan teknologi dan perkembangan lalu lintas yang semakin pesat Kepala Jawatan Kepolisian Negara memandang perlu untuk membangun wadah yang konkrit bagi penanganan -penanganan masalah lalu lintas. Oleh karenanya maka pada tanggal 22 September 1955. Kepala Jawatan Kepolisian Negara mengeluarkan Order No 20 / XVI / 1955 tanggal 22 September 1955, tentang Pembentukan Seksi Lalu Lintas Jalan, pada tingkat pusat yang taktis langsung di bawah Kepala Kepolisian Negara. Maka saat itu dikenal istilah lalu lintas jalan untuk pertama kalinya, yang mempunyai rumusan tugas sebagai berikut:
1) Mengumpulkan segala bahan yang bersangkutan dengan urusan lalu lintas jalan.
2) Memelihara / mengadakan peraturan, peringatan dan grafik tentang kecelakaan lalu lintas , jumlah pemakai jalan, pelanggaran lalu lintas jalan.
3) Mengadakan pengawasan atas pelaksanaan perundang – undangan lalu lintas jalan dan menyiapkan instruksi guna pelaksanaan di berbagai daerah.
4) Melayani sebab – sebab kecelakaan lalu lintas jalan di berbagai tempat di Indonesia, dan menyiapkan instruksi dan petunjuknya guna menurunkan / mengurangi angka kecelakaan lalu lintas.
Tahun 1956, di tiap
kantor Polisi Propinsi dibentuk Seksi Lalu Lintas dengan Order Kepala
Kepolisian Negara No. 20 / XIII /1956 tanggal 27 Juli 1956 kemudian di kesatuan
– kesatuan / kantor -kantor Polisi Karesidenan, selanjutnya pada tingkat
Kabupaten di bentuk pula seksi – seksi Lalu lintas dengan berdasar pada Order
KKN tersebut.
Pada periode ini telah diadakan beberapa kegiatan untuk perbaikan lalu lintas antara lain menyangkut engineering misalnya:
1) Diperkenalkannya istilah pulau – pulau jalan oleh Komisaris Besar Untung Margono untuk pertama kalinya di Indonesia. Pada pembuatan pulau – pulau ini diadakan kerja sama dengan Departemen Pekerjaan Umum dengan maksud untuk kelancaran lalu lintas.
2) Penegasan kembali pemasangan rambu – rambu lalu lintas yang mulai nampak adanya penyimpangan – penyimpangan, baik bentuk, warna maupun pemasangannya. Untuk itu pemasangan rambu perlu dasar hukum yang kuat karena Indonesia sudah menjadi anggota Convention on Road Traffic.
3) Dimulainya pendidikan lalu lintas pada anak – anak sekolah agar anak – anak sejak kecil sudah kenal dengan masalah – masalah lalu lintas. Maka dibentuklah Badan Keamanan Lalu Lintas (BKLL) untuk pertama kali di Jakarta pada tahun 1953 dengan maksud :
a) Menanamkan rasa tanggung jawab akan keselamatan lalu lintas terhadap orang lain dan terhadap umum.
b) Membantu menjaga keamanan lalu lintas dan mengurangi kecelakaan terutama yang melibatkan anak – anak sekolah.
c) Berusaha mewujudkan cita – cita masyarakat yang mempunyai disiplin lalu lintas yan tinggi sopan santun dan berpengetahuan lalu lintas yang luas.
Pada periode ini telah diadakan beberapa kegiatan untuk perbaikan lalu lintas antara lain menyangkut engineering misalnya:
1) Diperkenalkannya istilah pulau – pulau jalan oleh Komisaris Besar Untung Margono untuk pertama kalinya di Indonesia. Pada pembuatan pulau – pulau ini diadakan kerja sama dengan Departemen Pekerjaan Umum dengan maksud untuk kelancaran lalu lintas.
2) Penegasan kembali pemasangan rambu – rambu lalu lintas yang mulai nampak adanya penyimpangan – penyimpangan, baik bentuk, warna maupun pemasangannya. Untuk itu pemasangan rambu perlu dasar hukum yang kuat karena Indonesia sudah menjadi anggota Convention on Road Traffic.
3) Dimulainya pendidikan lalu lintas pada anak – anak sekolah agar anak – anak sejak kecil sudah kenal dengan masalah – masalah lalu lintas. Maka dibentuklah Badan Keamanan Lalu Lintas (BKLL) untuk pertama kali di Jakarta pada tahun 1953 dengan maksud :
a) Menanamkan rasa tanggung jawab akan keselamatan lalu lintas terhadap orang lain dan terhadap umum.
b) Membantu menjaga keamanan lalu lintas dan mengurangi kecelakaan terutama yang melibatkan anak – anak sekolah.
c) Berusaha mewujudkan cita – cita masyarakat yang mempunyai disiplin lalu lintas yan tinggi sopan santun dan berpengetahuan lalu lintas yang luas.
c. Periode 1959-1965
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 tidak hanya berdampak pada berubahnya struktur tata pemerintahan Negara akan tetapi juga mempunyai pengaruh terhadap perubahan- perubahan struktur dalam organisasi Kepolisian Negara. Perubahan pertama adalah terbentuk nya departemen kepolisian berdasarkan SK. Presiden No. 154/1959 tanggal 15 Juli 1959 berikutnya, berdasarkan SK. Presiden No. 1/MP/RI/1959 sebutan Kepala Kepolisian Negara berubah menjadi Menteri Muda Kepolisian namun buka termasuk kedalam menteri anggota kabinet, dalam hal ini yang menjabat adalah R.S. Soekanto.
Pada tanggal 23 Oktober 1959 dengan peraturan sementara dari Menteri / KKN di keluarkan peraturan sementara Menteri /KKN No. 2.PRA/MK/1959 tentang Susunan dan Tugas Markas Besar Polisi Negara. Dengan berdasar pada peraturan ini status Seksi Lalu Lintas Jalan di perluas menjadi Dinas Lalu Lintas dan Polisi Negara Urusan Kereta Api (PNUK). Tugas – tugas lainnya antara lain :
1) Mengatur pemberian jaminan bantuan kepada instansi – instansi yang membutuhkan bantuan Polisi bagi kelancaran dan keamanan lalu lintas daratan.
2) Kedua mengatur pelaksanaan pemeliharaan kelancaran dan keamanan lalu lintas di daratan termasuk Kereta Api.
3) Memberi nasehat dan saran – saran mengenai soal – soal lalu lintas di daratan kepada instansi – instansi yang membutuhkan.
Untuk membantu Menteri Muda kepolisian dibentuklah lembaga Direktorat Jenderal yang dipegang oleh seorang direktur. Kebijakan lainnya adalah mengubah wewenang kepengurusan bidang keuangan yang semula di bawah Perdana Menteri ke Menteri Muda Kepolisian Negara. Status kepolisian baru jelas ketika ditetapkan- nya ketetapan MPRS No. II/ MPRS/ 1960 yang menyatakan Kepolisian Negara menjadi Angkatan Bersenjata dan ketetapan tersebut dipertegas dengan penetapan DPR-GR tanggal 19 Juni 1961 tentang Undang-Undang Pokok Kepolisian No. 13/1961 yang tertuang dalam pasal 3 dalam undang-undang tersebut dijelas- kan bahwa kepolisian negara adalah Angkatan Bersenjata.
Kepala Dinas Lalu Lintas / PNUK adalah Ajun Komisaris Besar Polisi Untung Margono yang menggantikan Komisaris Besar Polisi H.S Djajoesman. Setelah pergantian pimpinan Polisi dari Menteri Muda Kepolisian R.S. Soekanto oleh Sukarno Djoyo Negoro mantan Kepala Kepolisian Jawa Timur, kemudian disusul reorganisasi kepolisian yaitu tentang susunan dan tugas kepolisian tingkat departemen.
Dalam reorganisasi ini Dinas Lalu Lintas / PNUK dimasukkan dalam Korps Polisi Tugas Umum termasuk didalamnya Perintis Polisi Wanita dan Polisi Umum, tanpa mengurangi tugas – tugas Dinas Lalu Lintas sebelumnya :
1) Perubahan itu tertuang dalam Peraturan Sementara JM Menteri/KSAK tanggal 31 Desember 1961.
2) Tanggal 23 Nopember 1962 dikeluarkan pula peraturan JM Menteri/KSK No. 2.PRT/KK/62 dibentuk kembali Dinas Lalu Lintas, yang terpisah dari Polisi tugas Umum, sedangkan PNUK tetap dimasukkan dalam jajaran Polisi Tugas Umum.
3) Tanggal 14 Februari 1964 dengan Surat Keputusan JM MEN PANGAK No. Pol.:11/SK/MK/64 Dinas Lalu Lintas diperluas kembali statusnya menjadi Direktorat Lalu Lintas. Dengan Surat Keputusan ini maka untuk pertama kali reorganisasi kepolisian bidang lalu lintas menggunakan nama Direktorat Lalu Lintas di tingkat pusat.
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 tidak hanya berdampak pada berubahnya struktur tata pemerintahan Negara akan tetapi juga mempunyai pengaruh terhadap perubahan- perubahan struktur dalam organisasi Kepolisian Negara. Perubahan pertama adalah terbentuk nya departemen kepolisian berdasarkan SK. Presiden No. 154/1959 tanggal 15 Juli 1959 berikutnya, berdasarkan SK. Presiden No. 1/MP/RI/1959 sebutan Kepala Kepolisian Negara berubah menjadi Menteri Muda Kepolisian namun buka termasuk kedalam menteri anggota kabinet, dalam hal ini yang menjabat adalah R.S. Soekanto.
Pada tanggal 23 Oktober 1959 dengan peraturan sementara dari Menteri / KKN di keluarkan peraturan sementara Menteri /KKN No. 2.PRA/MK/1959 tentang Susunan dan Tugas Markas Besar Polisi Negara. Dengan berdasar pada peraturan ini status Seksi Lalu Lintas Jalan di perluas menjadi Dinas Lalu Lintas dan Polisi Negara Urusan Kereta Api (PNUK). Tugas – tugas lainnya antara lain :
1) Mengatur pemberian jaminan bantuan kepada instansi – instansi yang membutuhkan bantuan Polisi bagi kelancaran dan keamanan lalu lintas daratan.
2) Kedua mengatur pelaksanaan pemeliharaan kelancaran dan keamanan lalu lintas di daratan termasuk Kereta Api.
3) Memberi nasehat dan saran – saran mengenai soal – soal lalu lintas di daratan kepada instansi – instansi yang membutuhkan.
Untuk membantu Menteri Muda kepolisian dibentuklah lembaga Direktorat Jenderal yang dipegang oleh seorang direktur. Kebijakan lainnya adalah mengubah wewenang kepengurusan bidang keuangan yang semula di bawah Perdana Menteri ke Menteri Muda Kepolisian Negara. Status kepolisian baru jelas ketika ditetapkan- nya ketetapan MPRS No. II/ MPRS/ 1960 yang menyatakan Kepolisian Negara menjadi Angkatan Bersenjata dan ketetapan tersebut dipertegas dengan penetapan DPR-GR tanggal 19 Juni 1961 tentang Undang-Undang Pokok Kepolisian No. 13/1961 yang tertuang dalam pasal 3 dalam undang-undang tersebut dijelas- kan bahwa kepolisian negara adalah Angkatan Bersenjata.
Kepala Dinas Lalu Lintas / PNUK adalah Ajun Komisaris Besar Polisi Untung Margono yang menggantikan Komisaris Besar Polisi H.S Djajoesman. Setelah pergantian pimpinan Polisi dari Menteri Muda Kepolisian R.S. Soekanto oleh Sukarno Djoyo Negoro mantan Kepala Kepolisian Jawa Timur, kemudian disusul reorganisasi kepolisian yaitu tentang susunan dan tugas kepolisian tingkat departemen.
Dalam reorganisasi ini Dinas Lalu Lintas / PNUK dimasukkan dalam Korps Polisi Tugas Umum termasuk didalamnya Perintis Polisi Wanita dan Polisi Umum, tanpa mengurangi tugas – tugas Dinas Lalu Lintas sebelumnya :
1) Perubahan itu tertuang dalam Peraturan Sementara JM Menteri/KSAK tanggal 31 Desember 1961.
2) Tanggal 23 Nopember 1962 dikeluarkan pula peraturan JM Menteri/KSK No. 2.PRT/KK/62 dibentuk kembali Dinas Lalu Lintas, yang terpisah dari Polisi tugas Umum, sedangkan PNUK tetap dimasukkan dalam jajaran Polisi Tugas Umum.
3) Tanggal 14 Februari 1964 dengan Surat Keputusan JM MEN PANGAK No. Pol.:11/SK/MK/64 Dinas Lalu Lintas diperluas kembali statusnya menjadi Direktorat Lalu Lintas. Dengan Surat Keputusan ini maka untuk pertama kali reorganisasi kepolisian bidang lalu lintas menggunakan nama Direktorat Lalu Lintas di tingkat pusat.
Undang-undang
Kepolisian yang lahir pada kala itu memang merupakan bentuk tonggak sejarah
dalam perkembangan Kepolisian modern di Indonesia, namun karena dalam penjelasan
undang- undang tersebut dikatakan bahwa status kepolisian terletak diantara
sipil dan militer maka integrasi kepolisian ke dalam ABRI menjadi
setengah-setengah. Baru pada tahun 1964 berdasarkan Keppres No. 290 tahun 1964
yang disempurnakan lagi pada tanggal 23 Juli 1965 angkatan Kepolisian
diintegrasikan dengan unsur-unsur ABRI lainnya yaitu Angkatan Darat, Angkatan
Laut, dan Angkatan Udara sehingga kedudukan hukum, personel, material,
keuangan, organisasi, administrasi, dan perawatan angkatan kepolisian diatur
secara umum dan terintegrasi.
Dalam perkembangan selanjutnya, bekerja sama dengan Departemen Perhubungan Darat dan Direktorat Pendidikan dan Latihan telah dirintis pendidikan kejuruan kader-kader Polantas. Kelanjutan dari kerja sama ini adalah, dikirimnya beberapa Perwira Polisi ke Amerika yaitu Northwestern University Of Traffic Institute (NUTI) dan California High Way Patrol di Sacrament (USA) untuk memperluas pengetahuannya di bidang lalu lintas. Dengan kembalinya para perwira yang mengikuti tugas belajar di Amerika, mulailah dirintis untuk pertama kalinya pendidikan Bintara Patroli Jalan Raya (PJR) di Sukabumi tahun 1962 yang diikuti oleh 40 siswa Polisi Lalu Lintas Komisaris di P. Jawa dan Bali. Dan mulai pula Kesatuan Lalu Lintas mengembangkan sayapnya guna memenuhi tuntutan jaman dengan membentuk kesatuan-kesatuan PJR.
Pembentukan kesatuan memerlukan perlengkapan yang cukup, dan hal ini dipenuhi dengan bantuan dari pemerintah Amerika Serikat seperti kendaraan bermotor (Jeep dan sedan Falcon dan Chevy) serta alat-alat komunikasi radio (motorola), sepeda motor Harley Davidson. Adanya kesatuan PJR didalam tubuh Polri/ Polantas, merupakan suatu organ baru yang sangat menunjang dan sangat diperlukan, baik untuk keamanan, dan penegakan hukum serta penyidikan kecelakaan lalu lintas, tugas-tugas tindakan pertama pada kejahatan maupun bantuan taktis dapat dilaksanakan.
Karena Perkembangan situasi politik, hubungan diplomatik Indonesia dengan Amerika Serikat mulai memburuk kemudian Polri lepas hubungan dengan Amerika Serikat, sehingga bantuan terputus. Bidang pendidikan masyarakat lalu lintas mulai dikembangkan, Polisi Lalu Lintas mulai membuat majalah, mengenalkan cara berlalu lintas pada pramuka dan membentuk Patroli Keamanan Sekolah (PKS). Karena kecelakaan lalu lintas sudah mulai menjadi masalah, Polisi Lalu Lintas mulai mengadakan penerangan-penerangan kepada masyarakat tentang tata cara berlalu lintas yang baik dan benar.
Pada periode ini mulai muncul usaha yang kuat untuk menyusun Undang-undang lalu lintas dan angkutan jalan untuk menggantikan VWO tahun 1933 peninggalan Belanda. Tahun 1965 berhasil menyusun Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya No. 3Tahun 1965. Kegiatan-kegiatan Polantas terus dikembangkan, tugas operasional Polisi Lalu Lintas tidak terbatas hanya berkaitan dengan lalu lintas saja, tetapi juga yang berkaitan dengan fungsi lain seperti ikut membantu penindakan terhadap kejahatan, penculikan, kebakaran dan lain-lain. Disamping itu dalam setiap penyelenggaraan kegiatan yang bersifat internasional di Indonesia Polisi Lalu Lintas selalu berperan aktif.
Dalam perkembangan selanjutnya, bekerja sama dengan Departemen Perhubungan Darat dan Direktorat Pendidikan dan Latihan telah dirintis pendidikan kejuruan kader-kader Polantas. Kelanjutan dari kerja sama ini adalah, dikirimnya beberapa Perwira Polisi ke Amerika yaitu Northwestern University Of Traffic Institute (NUTI) dan California High Way Patrol di Sacrament (USA) untuk memperluas pengetahuannya di bidang lalu lintas. Dengan kembalinya para perwira yang mengikuti tugas belajar di Amerika, mulailah dirintis untuk pertama kalinya pendidikan Bintara Patroli Jalan Raya (PJR) di Sukabumi tahun 1962 yang diikuti oleh 40 siswa Polisi Lalu Lintas Komisaris di P. Jawa dan Bali. Dan mulai pula Kesatuan Lalu Lintas mengembangkan sayapnya guna memenuhi tuntutan jaman dengan membentuk kesatuan-kesatuan PJR.
Pembentukan kesatuan memerlukan perlengkapan yang cukup, dan hal ini dipenuhi dengan bantuan dari pemerintah Amerika Serikat seperti kendaraan bermotor (Jeep dan sedan Falcon dan Chevy) serta alat-alat komunikasi radio (motorola), sepeda motor Harley Davidson. Adanya kesatuan PJR didalam tubuh Polri/ Polantas, merupakan suatu organ baru yang sangat menunjang dan sangat diperlukan, baik untuk keamanan, dan penegakan hukum serta penyidikan kecelakaan lalu lintas, tugas-tugas tindakan pertama pada kejahatan maupun bantuan taktis dapat dilaksanakan.
Karena Perkembangan situasi politik, hubungan diplomatik Indonesia dengan Amerika Serikat mulai memburuk kemudian Polri lepas hubungan dengan Amerika Serikat, sehingga bantuan terputus. Bidang pendidikan masyarakat lalu lintas mulai dikembangkan, Polisi Lalu Lintas mulai membuat majalah, mengenalkan cara berlalu lintas pada pramuka dan membentuk Patroli Keamanan Sekolah (PKS). Karena kecelakaan lalu lintas sudah mulai menjadi masalah, Polisi Lalu Lintas mulai mengadakan penerangan-penerangan kepada masyarakat tentang tata cara berlalu lintas yang baik dan benar.
Pada periode ini mulai muncul usaha yang kuat untuk menyusun Undang-undang lalu lintas dan angkutan jalan untuk menggantikan VWO tahun 1933 peninggalan Belanda. Tahun 1965 berhasil menyusun Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya No. 3Tahun 1965. Kegiatan-kegiatan Polantas terus dikembangkan, tugas operasional Polisi Lalu Lintas tidak terbatas hanya berkaitan dengan lalu lintas saja, tetapi juga yang berkaitan dengan fungsi lain seperti ikut membantu penindakan terhadap kejahatan, penculikan, kebakaran dan lain-lain. Disamping itu dalam setiap penyelenggaraan kegiatan yang bersifat internasional di Indonesia Polisi Lalu Lintas selalu berperan aktif.
d. Periode 1965-1998
Munculnya gerakan G 30 S/PKI pada tanggal 30 September 1965 menuntut segenap alat negara untuk bersatu dengan kokoh, meskipun cukup alot, integrasi Polri ke tubuh ABRI akhirnya dapat berlangsung. Keterpaduan ABRI dan Polisi diharapkan menjadi kekuatan Hankam yang tangguh untuk menghalau setiap pemberontakan dan pengacau yang mengancam keamanan negara dan bangsa Indonesia.
Integrasi ABRI dengan Polri di kongkritkan dengan Keppres no. 79/1969 yang berisi Pembagian dan Penentuan Fungsi Hankam. Meskipun berbeda dengan angkatan perang yang terdiri dari AD, AU dan AL tetapi Polri menjadi bagian dari Departemen Hankam.
Dengan Keppres tersebut Polri kembali mengadakan penyesuaian-penyesuaian dan perubahan-perubahan dalam tubuh organisasi baik di tingkat pusat maupun daerah. Demikian halnya di kesatuan Polisi Lalu Lintas. Untuk menyusun organisasi kepolisian maka dikeluarkan Surat keputusan Men Hankam Pangab No. Kep. A./385A/1111970 tentang Pokok-pokok Organisasi dan Prosedur Kepolisian Negara R.l. Sebagai penjabarannya dikeluarkan Surat Keputusan Kapolri No.Pol. 113/SK/1970 tanggal 17 September 1970 tentang Organisasi Staf Umum dan Staf Khusus dan Badan-badan pelaksana Polri, maka lahirlah organisasi baru di lingkungan Polri.
Demikian juga di kalangan Polisi Lalu Lintas Pusat. Dua tahun sebelum surat keputusan ini (tahun 1968) di tingkat pusat dibentuk Pusat Kesatuan Operasi Lalu Lintas (Pusatop Lantas), dengan komandannya KBP Drs. U.E. Medelu. Dengan keluarnya SK tersebut berubah kembali menjadi Direktorat Lalu Lintas tahun 1970, yang merupakan salah satu unsur Komando Utama Samapta Polri, sehingga kemudian disebut Direktorat Lalu Lintas Komapta.
Pada periode ini dibentuk Patroli Jalan Raya (PJR) oleh Mabes Polri, meski sebenarnya pembentukan Patroli Jalan Raya sudah dilakukan di Kepolisian Daerah, namun baru tahun 1966 dibentuk secara resmi berdasarkan instruksi Men Pangab No. 31/lnstr/MK/1966. Pembentukan Kesatuan PJR ini memang didasari dengan pertimbangan-pertimbangan yang matang.
Dalam pelaksanaan tugasnya anggota PJR dituntut untuk selalu siaga dan berpedoman kepada motto courtesy, protection, and service (ramah tamah perlindungan dan pelayanan). Detasemen PJR ini dipimpin oleh seorang komandan yang ditunjuk oleh Direktur Lalu Lintas dibawah pengawasan Kepala Dinas Pengawasan Direktorat Lalu Lintas.
Permasalahan lalu lintas mulai terasa meningkat ditandai meningkatnya frekwensi pelanggaran lalu lintas. Nampaknya masalah ini cukup merisaukan, terlebih para aparat penegak hukum. Dipandang dari segi sarana penindakan tampak memang kurang efektif. Tahun 1969 dibentuk team untuk merumuskan sistem penindakan pelanggaran lalu lintas yang praktis dan cepat.
Pada tanggal 11 Januari 1971 lahir Surat Keputusan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung No. 001/KMA/71, Jaksa Agung No. 002/DA/1971, Kepala Kepolisian R.l No. 4/SK/Kapolri/71 dan Menteri Kehakiman No. JS/1/21 yang mengesahkan berlakunya Sistem Tilang untuk pelanggaran lalu lintas. Dari Pihak Polri Tim perumus diwakili oleh Jenderal Memet Tanu Miharja, Brigjen Pol. Drs. VE. Madelu, Letkol Pol Drs. Basirun. Mulai tahun 1971 mulailah pelanggaran lalu lintas ditindak dengan tiket system yang dikenal dengan bukti pelanggaran disingkat tilang. Tanggal 29 Maret 1969 didirikan Pusat Pendidikan Lalu Lintas (Pusdik Lantas) yang berkedudukan di jalan MT. Haryono Jakarta Selatan, masih satu kantor dengan Direktorat Lalu Lintas Polri. Kemudian pada tahun 1985 dipindahkan ke Serpong Tangerang Jawa Barat sampai saat ini sejak tahun 1969 pendidikan lalu lintas untuk Perwira dan Bintara Lalu Lintas dapat dilaksanakan secara teratur.
Berdasarkan Surat Keputusan Men Hankam No. Kep/15/IV/1976 tanggal 13 April 1976, Skep Kapolri No. Pol. Skep/507V111/1977, dan Skep Kapolri No. Pol. Skep/53/VII/1977 di tingkat Mabak terdapat dua unsur lalu lintas. Pertama ; Dinas Lalu Lintas Polri yang berkedudukan sebagai Badan Pelaksana Pusat dibawah yang sehari-harinya dikoordinasi oleh Deputy Kapolri dengan tugas pokok membantu Kapolri untuk menyelenggarakan segala kegiatan dan pekerjaan di bidang pencegahan, penanggulangan terhadap terjadinya gangguan/ancaman terhadap Kamtibmas di bidang Lantas dan menindak apabila diperlukan dalam rangka kegiatan atau operasional Kepolisian, Kedua : pusat system senjata Lalu Lintas Polri yang berkedudukan dibawah Danjen Kobang Diklat Polri dengan tugas pokok menyelenggarakan segala usaha kegiatan mengenai pengembangan taktik dan teknik system senjata serta pendidikan latihan di bidang fungsi teknis lalu lintas Polri dalam rangka system Kamtibmas, serta tugas lain yang dibebankan padanya. Pusdik lantas kedudukannya dibawah Pusenlantas sebagai penyelenggara pendidikan. Dan secara organisatoris terpisah dari Dinas Lalu Lintas.
Selanjutnya berdasarkan Keputusan Pangab No.Kep/11/P/III/1984 tentang Pokok-pokok Organisasi dan Prosedur Kepolisian Negara R.l, dan Keputusan Kapolri No. Pol: Kep/09/X/1984 tanggal 30 Oktober 1984, Pusdik lantas kembali berada di bawah Direktorat Pendidikan Polri.
Pada tahun 1984 dengan Surat keputusan Pangab No. Kep/11/P/ll 1/1984 tanggal 31 Maret 1984 tentang Pokok-pokok Organisasi dan Prosedur Kepolisian R.l, Dinas Lalu Lintas Polri dirubah dan diperkecil struktur organisasinya menjadi Sub Direktorat Lalu Lintas Polri di bawah Direktorat Samapta Polri bersama-sama dengan Subdirektorat Polisi Perairan, Polisi Udara dan Satwa Polri. Pada tahun 1991 tepatnya tanggal 21 Nopember 1991 Subdirektorat Lalu Lintas dikembangkan kembali organisasinya menjadi Direktorat Lalu Lintas Polri berkedudukan di bawah Kapolri yang sehari-harinya dikoordinasikan oleh Deputi Operasi Kapolri.
Munculnya gerakan G 30 S/PKI pada tanggal 30 September 1965 menuntut segenap alat negara untuk bersatu dengan kokoh, meskipun cukup alot, integrasi Polri ke tubuh ABRI akhirnya dapat berlangsung. Keterpaduan ABRI dan Polisi diharapkan menjadi kekuatan Hankam yang tangguh untuk menghalau setiap pemberontakan dan pengacau yang mengancam keamanan negara dan bangsa Indonesia.
Integrasi ABRI dengan Polri di kongkritkan dengan Keppres no. 79/1969 yang berisi Pembagian dan Penentuan Fungsi Hankam. Meskipun berbeda dengan angkatan perang yang terdiri dari AD, AU dan AL tetapi Polri menjadi bagian dari Departemen Hankam.
Dengan Keppres tersebut Polri kembali mengadakan penyesuaian-penyesuaian dan perubahan-perubahan dalam tubuh organisasi baik di tingkat pusat maupun daerah. Demikian halnya di kesatuan Polisi Lalu Lintas. Untuk menyusun organisasi kepolisian maka dikeluarkan Surat keputusan Men Hankam Pangab No. Kep. A./385A/1111970 tentang Pokok-pokok Organisasi dan Prosedur Kepolisian Negara R.l. Sebagai penjabarannya dikeluarkan Surat Keputusan Kapolri No.Pol. 113/SK/1970 tanggal 17 September 1970 tentang Organisasi Staf Umum dan Staf Khusus dan Badan-badan pelaksana Polri, maka lahirlah organisasi baru di lingkungan Polri.
Demikian juga di kalangan Polisi Lalu Lintas Pusat. Dua tahun sebelum surat keputusan ini (tahun 1968) di tingkat pusat dibentuk Pusat Kesatuan Operasi Lalu Lintas (Pusatop Lantas), dengan komandannya KBP Drs. U.E. Medelu. Dengan keluarnya SK tersebut berubah kembali menjadi Direktorat Lalu Lintas tahun 1970, yang merupakan salah satu unsur Komando Utama Samapta Polri, sehingga kemudian disebut Direktorat Lalu Lintas Komapta.
Pada periode ini dibentuk Patroli Jalan Raya (PJR) oleh Mabes Polri, meski sebenarnya pembentukan Patroli Jalan Raya sudah dilakukan di Kepolisian Daerah, namun baru tahun 1966 dibentuk secara resmi berdasarkan instruksi Men Pangab No. 31/lnstr/MK/1966. Pembentukan Kesatuan PJR ini memang didasari dengan pertimbangan-pertimbangan yang matang.
Dalam pelaksanaan tugasnya anggota PJR dituntut untuk selalu siaga dan berpedoman kepada motto courtesy, protection, and service (ramah tamah perlindungan dan pelayanan). Detasemen PJR ini dipimpin oleh seorang komandan yang ditunjuk oleh Direktur Lalu Lintas dibawah pengawasan Kepala Dinas Pengawasan Direktorat Lalu Lintas.
Permasalahan lalu lintas mulai terasa meningkat ditandai meningkatnya frekwensi pelanggaran lalu lintas. Nampaknya masalah ini cukup merisaukan, terlebih para aparat penegak hukum. Dipandang dari segi sarana penindakan tampak memang kurang efektif. Tahun 1969 dibentuk team untuk merumuskan sistem penindakan pelanggaran lalu lintas yang praktis dan cepat.
Pada tanggal 11 Januari 1971 lahir Surat Keputusan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung No. 001/KMA/71, Jaksa Agung No. 002/DA/1971, Kepala Kepolisian R.l No. 4/SK/Kapolri/71 dan Menteri Kehakiman No. JS/1/21 yang mengesahkan berlakunya Sistem Tilang untuk pelanggaran lalu lintas. Dari Pihak Polri Tim perumus diwakili oleh Jenderal Memet Tanu Miharja, Brigjen Pol. Drs. VE. Madelu, Letkol Pol Drs. Basirun. Mulai tahun 1971 mulailah pelanggaran lalu lintas ditindak dengan tiket system yang dikenal dengan bukti pelanggaran disingkat tilang. Tanggal 29 Maret 1969 didirikan Pusat Pendidikan Lalu Lintas (Pusdik Lantas) yang berkedudukan di jalan MT. Haryono Jakarta Selatan, masih satu kantor dengan Direktorat Lalu Lintas Polri. Kemudian pada tahun 1985 dipindahkan ke Serpong Tangerang Jawa Barat sampai saat ini sejak tahun 1969 pendidikan lalu lintas untuk Perwira dan Bintara Lalu Lintas dapat dilaksanakan secara teratur.
Berdasarkan Surat Keputusan Men Hankam No. Kep/15/IV/1976 tanggal 13 April 1976, Skep Kapolri No. Pol. Skep/507V111/1977, dan Skep Kapolri No. Pol. Skep/53/VII/1977 di tingkat Mabak terdapat dua unsur lalu lintas. Pertama ; Dinas Lalu Lintas Polri yang berkedudukan sebagai Badan Pelaksana Pusat dibawah yang sehari-harinya dikoordinasi oleh Deputy Kapolri dengan tugas pokok membantu Kapolri untuk menyelenggarakan segala kegiatan dan pekerjaan di bidang pencegahan, penanggulangan terhadap terjadinya gangguan/ancaman terhadap Kamtibmas di bidang Lantas dan menindak apabila diperlukan dalam rangka kegiatan atau operasional Kepolisian, Kedua : pusat system senjata Lalu Lintas Polri yang berkedudukan dibawah Danjen Kobang Diklat Polri dengan tugas pokok menyelenggarakan segala usaha kegiatan mengenai pengembangan taktik dan teknik system senjata serta pendidikan latihan di bidang fungsi teknis lalu lintas Polri dalam rangka system Kamtibmas, serta tugas lain yang dibebankan padanya. Pusdik lantas kedudukannya dibawah Pusenlantas sebagai penyelenggara pendidikan. Dan secara organisatoris terpisah dari Dinas Lalu Lintas.
Selanjutnya berdasarkan Keputusan Pangab No.Kep/11/P/III/1984 tentang Pokok-pokok Organisasi dan Prosedur Kepolisian Negara R.l, dan Keputusan Kapolri No. Pol: Kep/09/X/1984 tanggal 30 Oktober 1984, Pusdik lantas kembali berada di bawah Direktorat Pendidikan Polri.
Pada tahun 1984 dengan Surat keputusan Pangab No. Kep/11/P/ll 1/1984 tanggal 31 Maret 1984 tentang Pokok-pokok Organisasi dan Prosedur Kepolisian R.l, Dinas Lalu Lintas Polri dirubah dan diperkecil struktur organisasinya menjadi Sub Direktorat Lalu Lintas Polri di bawah Direktorat Samapta Polri bersama-sama dengan Subdirektorat Polisi Perairan, Polisi Udara dan Satwa Polri. Pada tahun 1991 tepatnya tanggal 21 Nopember 1991 Subdirektorat Lalu Lintas dikembangkan kembali organisasinya menjadi Direktorat Lalu Lintas Polri berkedudukan di bawah Kapolri yang sehari-harinya dikoordinasikan oleh Deputi Operasi Kapolri.
e. Periode
1998-sekarang
Pada waktu terjadi demonstrasi dan kekacauan di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia pada medio 1998, Polisi Lalu Lintas tetap aktif mengendalikan arus lalu lintas dalam melaksanakan tugas dibidang lalu lintas lainnya dengan penuh semangat, walaupun gelombang demonstrasi panjang cukup melelahkan Polisi Lalu Lintas tetap mewujudkan Kamtibcar Lantas. Seiring dengan tuntutan demokratisasi dan supremasi hukum maka ditahun 1999 kedudukan Polri dipisahkan dari bagian ABRI menjadi di bawah Departemen Pertahanan dan Keamanan. Dengan terbitnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor : VI/MPR/2000 tanggal 18 Agustus 2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Nomor : VII/MPR/2000 tanggal 18 Agustus 2000 tentang Peran Tentara Nasional Republik Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kedudukan Polri yang mandiri dan berada langsung di bawah Presiden RI ditandai dengan lahirnya Undang-undang nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pada tahun 2004 merupakan salah satu tonggak sejarah yang menunjukkan eksistensi Polantas yaitu dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2004 tentang Penetapan Tarif PNBP yang berlaku dilingkungan Polri dimana 7 kewenangan yang diatur dalam PP tersebut 6 kewenangan milik Polantas.
Dengan terbitnya PP No 31 Tahun 2004 sebagai pelaksanaan dari Undang – undang No 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak menghilangkan kesan Duplikasi tugas Pokok Polisi Lalu Lintas dengan Departemen Perhubungan, yaitu dimana Peran Polisi Lalu Lintas berada dalam tataran Keamanan Dalam Negeri melalui Registrasi dan Identifikasi kendaraan bermotor dan pengemudi yang merupakan ciri khas dari tugas – tugas Polisi secara Universal selaku aparat penegak hukum menggunakan Identifikasi dalam upaya pembuktian bahwa telah terjadi suatu tindak pidana, sedangkan Peran Departemen Perhubungan berada dalam tataran Regulator Transportasi Nasional. Dengan pemberlakuan PP ini pula merupakan salah satu ciri khas yang dimiliki oleh fungsi teknis Polisi Lalu Lintas yaitu dapat memberi masukan kepada kas negara melalui biaya administrasi yang dipungut atas pelayanan Polri kepada masyarakat berdasarkan tarif yang telah ditentukan oleh Peraturan Pemerintah tersebut.
Pada waktu terjadi demonstrasi dan kekacauan di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia pada medio 1998, Polisi Lalu Lintas tetap aktif mengendalikan arus lalu lintas dalam melaksanakan tugas dibidang lalu lintas lainnya dengan penuh semangat, walaupun gelombang demonstrasi panjang cukup melelahkan Polisi Lalu Lintas tetap mewujudkan Kamtibcar Lantas. Seiring dengan tuntutan demokratisasi dan supremasi hukum maka ditahun 1999 kedudukan Polri dipisahkan dari bagian ABRI menjadi di bawah Departemen Pertahanan dan Keamanan. Dengan terbitnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor : VI/MPR/2000 tanggal 18 Agustus 2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Nomor : VII/MPR/2000 tanggal 18 Agustus 2000 tentang Peran Tentara Nasional Republik Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kedudukan Polri yang mandiri dan berada langsung di bawah Presiden RI ditandai dengan lahirnya Undang-undang nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pada tahun 2004 merupakan salah satu tonggak sejarah yang menunjukkan eksistensi Polantas yaitu dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2004 tentang Penetapan Tarif PNBP yang berlaku dilingkungan Polri dimana 7 kewenangan yang diatur dalam PP tersebut 6 kewenangan milik Polantas.
Dengan terbitnya PP No 31 Tahun 2004 sebagai pelaksanaan dari Undang – undang No 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak menghilangkan kesan Duplikasi tugas Pokok Polisi Lalu Lintas dengan Departemen Perhubungan, yaitu dimana Peran Polisi Lalu Lintas berada dalam tataran Keamanan Dalam Negeri melalui Registrasi dan Identifikasi kendaraan bermotor dan pengemudi yang merupakan ciri khas dari tugas – tugas Polisi secara Universal selaku aparat penegak hukum menggunakan Identifikasi dalam upaya pembuktian bahwa telah terjadi suatu tindak pidana, sedangkan Peran Departemen Perhubungan berada dalam tataran Regulator Transportasi Nasional. Dengan pemberlakuan PP ini pula merupakan salah satu ciri khas yang dimiliki oleh fungsi teknis Polisi Lalu Lintas yaitu dapat memberi masukan kepada kas negara melalui biaya administrasi yang dipungut atas pelayanan Polri kepada masyarakat berdasarkan tarif yang telah ditentukan oleh Peraturan Pemerintah tersebut.
Sejarah Berdirinya
Traffic Management Center (TMC)
Kemacetan lalu lintas merupakan masalah yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan warga Jakarta. Moda transportasi massal yang diprediksi bisa mengurangi bahkan menyelesaikan masalah kemacetan ternyata tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kemacetan di wilayah Ibukota Jakarta. Pemerintah Provinsi Jakarta saat dipimpin oleh Gubernur Sutioso melakukan membaharuan dalam bidang transportasi dengan membuat busway, water way dan monorail.
Hanya transportasi busway yang operasional sedangkan waterway dan monorail masih angan-angan yang sampai saat ini pembangunannya tidak jelas. Semakin lama jalan di Jakarta semakin penuh sesak oleh kendaraan bermotor. Sehingga kemacetan tidak bisa dihindari, akibatnya kinerja aparat Kepolisian dalam hal ini Polisi lalu lintas sangat disorot oleh masyarakat luas.
Pihak Kepolisian pun tidak kalah dalam inovasi, lewat kecanggihan teknologi dibangunlah Traffic Management Center (TMC) di Direktorat Lalu lintas kemudian dipindah ke Polda Metro Jaya. Upaya nyata dari kepolisian dalam mengatasi masalah lalu lintas jalan raya khususnya di wilayah Jakarta yang memberikan informasi baik mengenai registrasi kendaraan bermotor, pelanggaran, kecelakaan lalu lintas dan lainnya sehingga masyarakat dapat terbantu, dan informasi yang di peroleh benar benar akurat dan secara real time. Disis petugas kepolisian sendiri akan semakin mempermudah dalam penyebaran personel dilapangan karena dapat diketahui titik titik mana saja yang berpotensi mengakibatkan kemacetan.
Pembentukan Traffic Manajement Centre merupakan penjabaran kebijakan dan strategi Kapolri tahun 2002-2004. Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya sebagai satu kesatuan Organisasi yang melaksanakan tugas Operasional di bidang Lalu Lintas dalam pelaksanaan tugasnya harus dapat menjabarkan Kebijakan dan Strategi Kapolri tersebut.
Action Plan Kapolda Metropolitan Jakarta Raya yang akan dilaksanakan oleh seluruh kesatuan dikewilayahan. Pelaksanaan Action Plan Kapolda Metropolitan Jakarta Raya tersebut dilaksanakan dengan menyelenggarakan suatu sistem manajemen penyelenggaraan keamanan di ibukota dalam rangka menyikapi perubahan-perubahan sosial yang terjadi. Pelaksanaan ini harus dilakukan secara cepat, tepat, terprogram dan sistematis serta bersifat sinergis dengan semangat Speed dan Professional serta penuh rasa kebanggaan dalam memberikan pelayanan dan perlindungan bagi masyarakat untuk mewujudkan program quick wins.
Dalam rangka mengaplikasikan kebijakan Kapolda Metropolitan Jakarta Raya untuk meningkatkan kinerja pelayanan Polri (khususnya di bidang lalu lintas), maka Direktorat Lalu Lintas Polda Metro politan Ja karta Raya berusaha membangun sarana penunjangnya yakni Sistem Informasi Aplikasi Polisi yang terintegrasi sehingga semua aplikasi Polri yang telah dibangun dapat di akses dengan cepat, tepat dan akurat serta dapat membantu kecepatan informasi yang disampaikan kepada seluruh pihak yang berkepentingan, sehingga diharapkan mampu membantu pelaksanaan tugas Polantas dalam menangani kemacetan, kecelakaan dan pelanggaran lalu lintas secara cepat dan profesional . Sarana ini diberi nama Traffic Management Centre ( TMC).
TMC berdiri sejak tahun 2005, waktu itu masih di gedung Lantas Pancoran dan baru pindah ke Polda bulan Maret 2007. Bagi polisi, TCM sendiri merupakan sarana K3i (Komando, Kendali, Koordinasi dan Informasi). Artinya, segala macam kegiatan operasional lalu lintas itu dikendalikan dari pusat komando TMC ini. TMC tetap baik untuk mengurangi persoalan di jalan raya serta titik – titik yang rawan kejahatan .
Traffic Management Centre Polda Metro Jaya mempunyai 25 komputer, 3 call center dan proyektor dengan teknologi tinggi. Kehadiran TMC digagas sejak tiga tahun lalu. Kami belajar dari pengalaman Belanda, Singapura dan Jepang. Sistem ini bukan hanya mampu meningkatkan pelayanan masyarakat dan kontrol terhadap para petugas di lapangan, tetapi juga mampu memperbaiki citra polisi, karena dengan adanya TMC, jumlah polisi atau petugas terkait lainnya di jalan bisa dikurangi ke titik terendah.
Keadaan ini tentu akan memperbaiki citra polisi dan aparat terkait lainnya. Prinsipnya, kini kian sedikit petugas di jalan, namun justru kian menguat kesan kota aman dan tertib di balik kerja polisi dan aparat lain yang tak tampak. Namun pada sisi lainnya perkuatan melalui pemanfaatan teknologi juga dikedepankan.
Tujuan dibentuk Traffic Management Centre : (1) Sebagai Pelayanan Quick Respon Time secara Profesional terhadap masyarakat; (2) Sebagai Pelayanan Penegakkan Hukum; dan (3) Sebagai Pusat Informasi bagi Polri dan Masyarakat. Sedangkan program – program Traffic Management Centre diantaranya adalah :
1. Pelayanan Quick Respon Time secara Profesional terhadap masyarakat.
2. Analisa Pelanggaran dan Kecelakaan Lalu Lintas (Black Spot).
3. Pusat Informasi Surat Ijin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), Bukti Kepememilikan Kendaraan Bermotor ( BPKB) bagi Polri dan Masyarakat.
4. Pusat Informasi kegiatan dan Kemacetan Lalu Lintas.
5. Pusat Informasi Hilang Temu Kendaraan Bermotor.
6. Pusat Kendali Patroli Ranmor dalam mewujudkan Keselamatan dan Kamtibcar Lantas.
7. Pusat Informasi Kualitas Baku Mutu Udara.
8. Pusat Pengendalian Lalu Lintas.
Kemacetan lalu lintas merupakan masalah yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan warga Jakarta. Moda transportasi massal yang diprediksi bisa mengurangi bahkan menyelesaikan masalah kemacetan ternyata tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kemacetan di wilayah Ibukota Jakarta. Pemerintah Provinsi Jakarta saat dipimpin oleh Gubernur Sutioso melakukan membaharuan dalam bidang transportasi dengan membuat busway, water way dan monorail.
Hanya transportasi busway yang operasional sedangkan waterway dan monorail masih angan-angan yang sampai saat ini pembangunannya tidak jelas. Semakin lama jalan di Jakarta semakin penuh sesak oleh kendaraan bermotor. Sehingga kemacetan tidak bisa dihindari, akibatnya kinerja aparat Kepolisian dalam hal ini Polisi lalu lintas sangat disorot oleh masyarakat luas.
Pihak Kepolisian pun tidak kalah dalam inovasi, lewat kecanggihan teknologi dibangunlah Traffic Management Center (TMC) di Direktorat Lalu lintas kemudian dipindah ke Polda Metro Jaya. Upaya nyata dari kepolisian dalam mengatasi masalah lalu lintas jalan raya khususnya di wilayah Jakarta yang memberikan informasi baik mengenai registrasi kendaraan bermotor, pelanggaran, kecelakaan lalu lintas dan lainnya sehingga masyarakat dapat terbantu, dan informasi yang di peroleh benar benar akurat dan secara real time. Disis petugas kepolisian sendiri akan semakin mempermudah dalam penyebaran personel dilapangan karena dapat diketahui titik titik mana saja yang berpotensi mengakibatkan kemacetan.
Pembentukan Traffic Manajement Centre merupakan penjabaran kebijakan dan strategi Kapolri tahun 2002-2004. Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya sebagai satu kesatuan Organisasi yang melaksanakan tugas Operasional di bidang Lalu Lintas dalam pelaksanaan tugasnya harus dapat menjabarkan Kebijakan dan Strategi Kapolri tersebut.
Action Plan Kapolda Metropolitan Jakarta Raya yang akan dilaksanakan oleh seluruh kesatuan dikewilayahan. Pelaksanaan Action Plan Kapolda Metropolitan Jakarta Raya tersebut dilaksanakan dengan menyelenggarakan suatu sistem manajemen penyelenggaraan keamanan di ibukota dalam rangka menyikapi perubahan-perubahan sosial yang terjadi. Pelaksanaan ini harus dilakukan secara cepat, tepat, terprogram dan sistematis serta bersifat sinergis dengan semangat Speed dan Professional serta penuh rasa kebanggaan dalam memberikan pelayanan dan perlindungan bagi masyarakat untuk mewujudkan program quick wins.
Dalam rangka mengaplikasikan kebijakan Kapolda Metropolitan Jakarta Raya untuk meningkatkan kinerja pelayanan Polri (khususnya di bidang lalu lintas), maka Direktorat Lalu Lintas Polda Metro politan Ja karta Raya berusaha membangun sarana penunjangnya yakni Sistem Informasi Aplikasi Polisi yang terintegrasi sehingga semua aplikasi Polri yang telah dibangun dapat di akses dengan cepat, tepat dan akurat serta dapat membantu kecepatan informasi yang disampaikan kepada seluruh pihak yang berkepentingan, sehingga diharapkan mampu membantu pelaksanaan tugas Polantas dalam menangani kemacetan, kecelakaan dan pelanggaran lalu lintas secara cepat dan profesional . Sarana ini diberi nama Traffic Management Centre ( TMC).
TMC berdiri sejak tahun 2005, waktu itu masih di gedung Lantas Pancoran dan baru pindah ke Polda bulan Maret 2007. Bagi polisi, TCM sendiri merupakan sarana K3i (Komando, Kendali, Koordinasi dan Informasi). Artinya, segala macam kegiatan operasional lalu lintas itu dikendalikan dari pusat komando TMC ini. TMC tetap baik untuk mengurangi persoalan di jalan raya serta titik – titik yang rawan kejahatan .
Traffic Management Centre Polda Metro Jaya mempunyai 25 komputer, 3 call center dan proyektor dengan teknologi tinggi. Kehadiran TMC digagas sejak tiga tahun lalu. Kami belajar dari pengalaman Belanda, Singapura dan Jepang. Sistem ini bukan hanya mampu meningkatkan pelayanan masyarakat dan kontrol terhadap para petugas di lapangan, tetapi juga mampu memperbaiki citra polisi, karena dengan adanya TMC, jumlah polisi atau petugas terkait lainnya di jalan bisa dikurangi ke titik terendah.
Keadaan ini tentu akan memperbaiki citra polisi dan aparat terkait lainnya. Prinsipnya, kini kian sedikit petugas di jalan, namun justru kian menguat kesan kota aman dan tertib di balik kerja polisi dan aparat lain yang tak tampak. Namun pada sisi lainnya perkuatan melalui pemanfaatan teknologi juga dikedepankan.
Tujuan dibentuk Traffic Management Centre : (1) Sebagai Pelayanan Quick Respon Time secara Profesional terhadap masyarakat; (2) Sebagai Pelayanan Penegakkan Hukum; dan (3) Sebagai Pusat Informasi bagi Polri dan Masyarakat. Sedangkan program – program Traffic Management Centre diantaranya adalah :
1. Pelayanan Quick Respon Time secara Profesional terhadap masyarakat.
2. Analisa Pelanggaran dan Kecelakaan Lalu Lintas (Black Spot).
3. Pusat Informasi Surat Ijin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), Bukti Kepememilikan Kendaraan Bermotor ( BPKB) bagi Polri dan Masyarakat.
4. Pusat Informasi kegiatan dan Kemacetan Lalu Lintas.
5. Pusat Informasi Hilang Temu Kendaraan Bermotor.
6. Pusat Kendali Patroli Ranmor dalam mewujudkan Keselamatan dan Kamtibcar Lantas.
7. Pusat Informasi Kualitas Baku Mutu Udara.
8. Pusat Pengendalian Lalu Lintas.
Tugas para awak Ruangan
Traffic Management Centre dititik beratkan sebagai Pusat Komando dan
Pengendalian Operasional Kepolisian bidang Lalu Lintas. Seluruh data dari
kewilayahan ditampung di ruangan ini yang kemudian diolah untuk siap disajikan.
Dengan adanya data yang telah siap disajikan ini diharapkan dapat membantu
tugas-tugas Polri dalam melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat.
Adapun perangkat/teknologi yang dimiliki oleh Traffic Management Centre Dit Lantas Polda Metropolitan Jakarta Raya adalah:
1. GPS (Global Positioning System) sebanyak 44 yang dipasang di wilayah Jakarta dan sekitarnya yang rawan gangguan keamanan.
2. CCTV (Closed Circuit TeleVision) sebagai kamera pengintai sebanyak 50 unit yang disebar ke beberapa titik rawan kemacetan, mempunyai spesifikasi teknis bisa digerakkan 360 derajat.
3. SMS (Short Messaging Service) dengan SMS 1120 masyarakat dapat melapor langsung dari TKP jika ada pelanggaran hukum, sehingga segala laporan dan pengaduan dapat dilayani dengan cepat.
4. Internet Service (Website) melalui situs http://www.lantas.metro.polri.go.id.
5. Identification Service (SIM, STNK & BPKB).
6. Traffic Accident Service (Pelayanan Informasi Laka Lantas ).
7. Law Enforcement Service (Pelayanan Penegakkan Hukum).
8. Video Conference (Teknologi Konferensi Jarak Jauh).
9. Faximile.
10. Telp. Bebas Pulsa 112 (Hunting).
Adapun perangkat/teknologi yang dimiliki oleh Traffic Management Centre Dit Lantas Polda Metropolitan Jakarta Raya adalah:
1. GPS (Global Positioning System) sebanyak 44 yang dipasang di wilayah Jakarta dan sekitarnya yang rawan gangguan keamanan.
2. CCTV (Closed Circuit TeleVision) sebagai kamera pengintai sebanyak 50 unit yang disebar ke beberapa titik rawan kemacetan, mempunyai spesifikasi teknis bisa digerakkan 360 derajat.
3. SMS (Short Messaging Service) dengan SMS 1120 masyarakat dapat melapor langsung dari TKP jika ada pelanggaran hukum, sehingga segala laporan dan pengaduan dapat dilayani dengan cepat.
4. Internet Service (Website) melalui situs http://www.lantas.metro.polri.go.id.
5. Identification Service (SIM, STNK & BPKB).
6. Traffic Accident Service (Pelayanan Informasi Laka Lantas ).
7. Law Enforcement Service (Pelayanan Penegakkan Hukum).
8. Video Conference (Teknologi Konferensi Jarak Jauh).
9. Faximile.
10. Telp. Bebas Pulsa 112 (Hunting).
TMC berfungsi untuk
memonitor adanya gangguan keamanan di wilayah seputar Jakarta dengan CCTV.
Monitor di ruang TMC terus online, dan menunjukkan tayangan dua gambar. Yang
satu menunjukkan situasi arus lalu lintas di kawasan A, termasuk adanya jenis
gangguan keamanan.
Tayangan yang lain memperlihatkan peta penuh titik lokasi yang berasal dari sinyal kendaraan patroli polisi yang dilengkapi GPS atau Sistem Informasi Geografis (GIS/Geographic Information System), serta sejumlah lokasi pos polisi. Karena semua sudah saling terkoordinasi, maka bantuan ke daerah kejadian akan segera ditangani.
Kehadiran TMC memang punya manfaat lain, seperti memantau lokasi genangan air dan pohon tumbang, mengingat cuaca sekarang ini sedang tidak menentu. TMC juga bisa mengidentifikasi nomor kendaraan bermotor dan data seluruh kendaraan yang ada di wilayah hukum Polda Metro. Hal ini dimungkinkan karena TMC sudah terintegrasi dengan seluruh kantor Sistem Administrasi Manunggal di bawah Satu Atap (Samsat) di Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Dengan demikian polisi tak perlu lagi menghubungi kantor Samsat. Data pemegang Surat Izin Mengemudi (SIM) pun bisa diakses dari TMC. Jadi kalau pemegang SIM-nya sering melanggar, polisi bisa cepat mencabut SIM.
Kehadiran TMC belum bisa mengurangi petugas patroli jalan raya seperti di negara- negara maju. Hal ini disebabkan masyarakat kita sebagian besar belum sadar hukum. Oleh karena itu penggunaan jaringan CCTV yang dikendalikan TMC, belum sepenuhnya mengurangi kehadiran polisi di jalan, terutama di hari-hari sibuk. Misalnya saat hari raya dan sebagainya. Saat ini, masyarakat kita taat kalau ada polisi. Meski demikian, kehadiran TMC sudah pada tingkat harus ada di Jakarta, karena tingginya penduduk, tingginya mobilitas warga, dan bertambahnya kendaraan yang tidak seimbang dengan pertambahan jalan.
Tayangan yang lain memperlihatkan peta penuh titik lokasi yang berasal dari sinyal kendaraan patroli polisi yang dilengkapi GPS atau Sistem Informasi Geografis (GIS/Geographic Information System), serta sejumlah lokasi pos polisi. Karena semua sudah saling terkoordinasi, maka bantuan ke daerah kejadian akan segera ditangani.
Kehadiran TMC memang punya manfaat lain, seperti memantau lokasi genangan air dan pohon tumbang, mengingat cuaca sekarang ini sedang tidak menentu. TMC juga bisa mengidentifikasi nomor kendaraan bermotor dan data seluruh kendaraan yang ada di wilayah hukum Polda Metro. Hal ini dimungkinkan karena TMC sudah terintegrasi dengan seluruh kantor Sistem Administrasi Manunggal di bawah Satu Atap (Samsat) di Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Dengan demikian polisi tak perlu lagi menghubungi kantor Samsat. Data pemegang Surat Izin Mengemudi (SIM) pun bisa diakses dari TMC. Jadi kalau pemegang SIM-nya sering melanggar, polisi bisa cepat mencabut SIM.
Kehadiran TMC belum bisa mengurangi petugas patroli jalan raya seperti di negara- negara maju. Hal ini disebabkan masyarakat kita sebagian besar belum sadar hukum. Oleh karena itu penggunaan jaringan CCTV yang dikendalikan TMC, belum sepenuhnya mengurangi kehadiran polisi di jalan, terutama di hari-hari sibuk. Misalnya saat hari raya dan sebagainya. Saat ini, masyarakat kita taat kalau ada polisi. Meski demikian, kehadiran TMC sudah pada tingkat harus ada di Jakarta, karena tingginya penduduk, tingginya mobilitas warga, dan bertambahnya kendaraan yang tidak seimbang dengan pertambahan jalan.
Polisi Lalu Lintas Dimasa Mendatang
Pada jaman dahulu tidak ada lampu trafick light (lampu merah, kuning, hijau di perempatan jalan). Untuk mengatur lalu lintas di perempatan jalan, Polisi berdiri di tengah-tengah perempatan sambil memutar secara manual kode berjalan dan berhenti seperti gambar di samping.
Benda berbentuk kotak pada ujung tiang tersebut bertulis “Berjalan” dan “Berhenti”. Polisi di bawahnya memutar bergiliran kode tersebut melalui tuas yang ada di bawahnya secara manual untuk mengatur lalu lintas. Sebuah payung sekedarnya, sedikit membantu untuk menghindari panas dan rintikan hujan. Pekerjaan tersebut memerlukan dedikasi, ketanggapan dan kejelian. Bagi mereka, menjadi petugas dalam mengamankan arus lalu lintas, merupakan sebuah kebanggaan yang dijalankan secara ikhlas. Dari sini kita bisa membayangkan betapa mulianya amal perbutan tersebut.
Jaman terus berganti, kini rambu-rambu lalu lintas di perempatan jalan bekerja secara otomatis dengan adanya lampu trafick light. Meskipun begitu, nilai jaman dahulu tidak jauh berbeda dengan jaman sekarang, Polisi masih diperlukan di perempatan jalan untuk mengatur lalu lintas dan masyarakatnya. Meskipun sekarang Polantas di perempatan bekerja lebih mudah, akan tetapi semangat pengabdian yang ikhlas pada jaman dulu harus tetap bersemi pada setiap anggota Polisi pada setiap masanya baik dulu, kini dan yang akan datang. Sehingga mereka sadar, bahwa ini merupakan pekerjaan yang mulia dan bernilai pahala di sisi-Nya apabila dikerjakan dengan tulus ikhlas.
Perkembangan dan kemajuan dibidang lalu lintas khususnya transportasi darat yang demikian pesat, telah berdampak menurunnya kualitas Kamtibcar Lantas dijalan, sebagai akibat digunakannya jalan sebagai sarana penunjang mobilitas masyarakat sehingga tidak sesuai dengan fungsi jalan tersebut termasuk di dalamnya penyimpangan terhadap fungsi jalan. Hal ini juga akibat dari berkembangnya tingkat kehidupan masyarakat serta perubahan-perubahan yang terjadi sesuai dengan perkembangan jaman sehingga hal ini dapat menimbulkan berbagai jenis ancaman Kamtibcar lantas bagi pemakai jalan.
Menghadapi ancaman Kamtibcar lantas tersebut, maka aparat penegak hukum dalam hal ini Polri bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pengawasan dan pengendalian lalu lintas dan angkutan jalan yang optimal sehingga mampu menanggulangi ancaman kamtibcar lantas terutama di kota-kota besar, pentingnya sarana jalan dikota besar mendapat prioritas dalam penanggulagan ancaman Kamtibcar Lantas, dikarenakan perkotaan mempunyai nilai strategis dan ekonomis sebagai pusat pemerintahan dan bisnis sehingga berpengaruh terhadap kelancaran dan keberhasilan pembangunan daerah maupun Pembangunan Nasional disegala sektor.
Mengantisipasi timbulnya ancaman kamtibcar lantas di kota besar yang nampak trend perkembangannya dimasa mendatang akan terus meningkat dan bertambah kompleks, maka pimpinan Polri menetapkan kebijaksanaan bahwa fungsi Kepolisian di bidang lalu lintas merupakan salah satu aspek dari Core business Polri. Konsekwensi dari kebijaksanaan tersebut maka seluruh jajaran Polisi Lalu Lintas (Polantas) sebagai pengemban fungsi lalu lintas harus mampu menunjukkan hasil tugasnya, sesuai tugas pokok, fungsi dan perannya.
Masalah lalu lintas sangat berkaitan erat dengan berbagai masalah yang mencakup ke berbagai aspek kehidupan, keterkaitan itu dapat lebih jelas terlihat apabila perhatian lebih dipusatkan pada salah satu segi, misalnya dalam hal penanggulangan kemacetan lalu lintas sehingga masalah kemacetan ini menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat.
Mengatasi masalah kemacetan lalu lintas, tidak mungkin dapat dilakukan secara mendadak atau hanya melalui salah satu bentuk upaya kegiatan saja, misalnya tindakan tegas kepada semua pelanggar aturan lalu lintas, baik dalam bentuk operasi Kepolisian, maupun kegiatan rutin dengan sasaran pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan Lalu Lintas seperti yang diatur dalam pasal-pasal tilang yang kita kenal selama ini.
Pada jaman dahulu tidak ada lampu trafick light (lampu merah, kuning, hijau di perempatan jalan). Untuk mengatur lalu lintas di perempatan jalan, Polisi berdiri di tengah-tengah perempatan sambil memutar secara manual kode berjalan dan berhenti seperti gambar di samping.
Benda berbentuk kotak pada ujung tiang tersebut bertulis “Berjalan” dan “Berhenti”. Polisi di bawahnya memutar bergiliran kode tersebut melalui tuas yang ada di bawahnya secara manual untuk mengatur lalu lintas. Sebuah payung sekedarnya, sedikit membantu untuk menghindari panas dan rintikan hujan. Pekerjaan tersebut memerlukan dedikasi, ketanggapan dan kejelian. Bagi mereka, menjadi petugas dalam mengamankan arus lalu lintas, merupakan sebuah kebanggaan yang dijalankan secara ikhlas. Dari sini kita bisa membayangkan betapa mulianya amal perbutan tersebut.
Jaman terus berganti, kini rambu-rambu lalu lintas di perempatan jalan bekerja secara otomatis dengan adanya lampu trafick light. Meskipun begitu, nilai jaman dahulu tidak jauh berbeda dengan jaman sekarang, Polisi masih diperlukan di perempatan jalan untuk mengatur lalu lintas dan masyarakatnya. Meskipun sekarang Polantas di perempatan bekerja lebih mudah, akan tetapi semangat pengabdian yang ikhlas pada jaman dulu harus tetap bersemi pada setiap anggota Polisi pada setiap masanya baik dulu, kini dan yang akan datang. Sehingga mereka sadar, bahwa ini merupakan pekerjaan yang mulia dan bernilai pahala di sisi-Nya apabila dikerjakan dengan tulus ikhlas.
Perkembangan dan kemajuan dibidang lalu lintas khususnya transportasi darat yang demikian pesat, telah berdampak menurunnya kualitas Kamtibcar Lantas dijalan, sebagai akibat digunakannya jalan sebagai sarana penunjang mobilitas masyarakat sehingga tidak sesuai dengan fungsi jalan tersebut termasuk di dalamnya penyimpangan terhadap fungsi jalan. Hal ini juga akibat dari berkembangnya tingkat kehidupan masyarakat serta perubahan-perubahan yang terjadi sesuai dengan perkembangan jaman sehingga hal ini dapat menimbulkan berbagai jenis ancaman Kamtibcar lantas bagi pemakai jalan.
Menghadapi ancaman Kamtibcar lantas tersebut, maka aparat penegak hukum dalam hal ini Polri bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pengawasan dan pengendalian lalu lintas dan angkutan jalan yang optimal sehingga mampu menanggulangi ancaman kamtibcar lantas terutama di kota-kota besar, pentingnya sarana jalan dikota besar mendapat prioritas dalam penanggulagan ancaman Kamtibcar Lantas, dikarenakan perkotaan mempunyai nilai strategis dan ekonomis sebagai pusat pemerintahan dan bisnis sehingga berpengaruh terhadap kelancaran dan keberhasilan pembangunan daerah maupun Pembangunan Nasional disegala sektor.
Mengantisipasi timbulnya ancaman kamtibcar lantas di kota besar yang nampak trend perkembangannya dimasa mendatang akan terus meningkat dan bertambah kompleks, maka pimpinan Polri menetapkan kebijaksanaan bahwa fungsi Kepolisian di bidang lalu lintas merupakan salah satu aspek dari Core business Polri. Konsekwensi dari kebijaksanaan tersebut maka seluruh jajaran Polisi Lalu Lintas (Polantas) sebagai pengemban fungsi lalu lintas harus mampu menunjukkan hasil tugasnya, sesuai tugas pokok, fungsi dan perannya.
Masalah lalu lintas sangat berkaitan erat dengan berbagai masalah yang mencakup ke berbagai aspek kehidupan, keterkaitan itu dapat lebih jelas terlihat apabila perhatian lebih dipusatkan pada salah satu segi, misalnya dalam hal penanggulangan kemacetan lalu lintas sehingga masalah kemacetan ini menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat.
Mengatasi masalah kemacetan lalu lintas, tidak mungkin dapat dilakukan secara mendadak atau hanya melalui salah satu bentuk upaya kegiatan saja, misalnya tindakan tegas kepada semua pelanggar aturan lalu lintas, baik dalam bentuk operasi Kepolisian, maupun kegiatan rutin dengan sasaran pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan Lalu Lintas seperti yang diatur dalam pasal-pasal tilang yang kita kenal selama ini.
BRIMOB
Brigade Mobil atau
sering disingkat Brimob adalah unit (Korps) tertua di dalam Kepolisian Republik Indonesia (Polri)
karena mengawali pembentukan kepolisian Indonesia pada tahun 1945. Korps ini
dikenal sebagai Korps Baret Biru Tua.
Brimob termasuk satuan
elit (pasukan khusus) dalam jajaran kesatuan Polri, Brimob juga tergolong ke
dalam sebuah unitparamiliter ditinjau dari tanggung jawab dan lingkup
tugas kepolisian.
Sejarah
Brimob pertama-tama
terbentuk dengan nama Tokubetsu Keisatsutai atau Pasukan Polisi
Istimewa. Kesatuan ini pada mulanya diberikan tugas untuk melucuti senjata
tentara Jepang,
melindungi kepala negara, dan mempertahankan ibukota. Brimob turut berjuang dalam
pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Di
bawah pimpinan Inspektur Polisi I Mohammad
Yasin, Pasukan Polisi Istimewa ini memelopori pecahnya pertempuran 10
November 1945 melawan
Tentara Sekutu brimob
merupakan kesatuan paling pertama di Indonesia, pada masa penjajahan Jepang
Brimob dikenal dengan sebutan Tokubetsu Keisatsutai. Pasukan ini yang pertama
kali mendapat penghargaan dari Presiden pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno
yaituSakanti YanoUtama
Beralih menjadi Mobrig
Pada 14
November 1946 Perdana
Menteri Sutan Sjahrir membentuk Mobile Brigade (Mobrig)
sebagai ganti Pasukan Polisi Istimewa. Tanggal ini ditetapkan sebagai hari
jadi Korps Baret Biru. Pembentukan Mobrig ini dimaksudkan Sjahrir sebagai
perangkat politik untuk menghadapi tekanan politik dari tentara dan sebagai
pelindung terhadap kudeta yang melibatkan satuan-satuan militer. Di kemudian
hari korps ini menjadi rebutan antara pihak polisi dan militer.
Menghadapi gerakan separatis
Pada 1 Agustus 1947, Mobrig dijadikan
satuan militer. Dalam kapasitasnya ini, Mobrig terlibat dalam menghadapi
berbagai gejolak di dalam negeri. Pada tahun 1948, di bawah pimpinan Moehammad
Jasin dan Inspektur Polisi II Imam Bachri bersama
pasukan TNI berhasil menumpas pelaku Peristiwa
Madiun di Madiun dan Blitar Selatan dalam
Operasi Trisula. Mobrig juga dikerahkan dalam menghadapi gerakan separatis DI/TII di
Jawa Barat yang dipimpin oleh S.M.
Kartosuwiryo dan di Sulawesi Selatan dan Aceh yang dipimpin oleh Kahar
Muzakar dan Daud Beureueh. Pada awal tahun 1950 pasukan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)
yang dipimpin Kapten Raymond Westerling menyerbu kotaBandung. Untuk
menghadapinya, empat kompi Mobrig dikirim untuk menumpasnya.
Mobrig bersama pasukan
TNI juga dikerahkan pada April 1950 ketika Andi Azis beserta
pengikutnya dinyatakan sebagai pemberontak di Sulawesi Selatan. Kemudian ketika Dr.
Soumokil memproklamirkan berdirinya RMS pada 23 April 1950, kompi-kompi
tempur Mobrig kembali ditugasi menumpasnya.
Pada tahun 1953, Mobrig
juga dikerahkan di Kalimantan Selatan untuk memadamkan pemberontakan rakyat
yang dipimpin oleh Ibnu Hajar. Ketika Pemerintah Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI) diumumkan pada 15
Februari 1958 dengan Syafruddin Prawiranegara sebagai
tokohnya, pemerintah pusat menggelar Operasi Tegas, Operasi Saptamarga dan
Operasi 17 Agustus dengan mengerahkan Mobrig dan melalui pasukan-pasukan
tempurnya yang lain. Batalyon Mobrig bersama pasukan-pasukan TNI berhasil mengatasi
gerakan koreksi PRRI di Sumatera
Utara, Sumatera Barat, Sumatera
Timur, Riau dan Bengkulu.
Dalam Operasi Mena pada 11 Maret 1958 beberapa
kompi tempur Mobrig melakukan serangan ke kubu-kubu pertahanan Permesta di Sulawesi
Tengah dan Maluku.
Pada 14
November 1961 bersamaan
dengan diterimanya Pataka Nugraha Sakanti Yana Utama, satuan Mobrig berubah
menjadiKorps Brigade Mobil (Korps Brimob).
Brimob pernah terlibat
dalam beberapa peristiwa penting seperti Konfrontasi dengan Malaysia tahun 1963 dan aneksasi Timor
Timur tahun 1975. Brimob sampai sekarang ini kira-kira berkekuatan 30.000
personel, ditempatkan di bawah kewenanganKepolisian
Daerah masing-masing provinsi.
Pada tahun 1981 Brimob
membentuk sub unit baru yang disebut unit Penjinak Bahan Peledak (Jihandak).
Semenjak tahun 1992
Brimob pada dasarnya adalah organisasi militer para yang dilatih dan
diorganisasikan dalam kesatuan-kesatuan militer. Brimob memiliki kekuatan
sekitar 12.000 personel. Brigade ini fungsi utamanya adalah sebagai korps elite
untuk menanggulangi situasi darurat, yakni membantu tugas kepolisian
kewilayahan dan menangani kejahatan dengan tingkat intensitas tinggi yang
menggunakan senjata api dan bahan peledak dalam operasi yang membutuhkan aksi
yang cepat. Mereka diterjunkan dalam operasi pertahanan dan keamanan domestik,
dan telah dilengkapi dengan perlengkapan anti huru-hara khusus. Mereka telah
dilatih khusus untuk menangani demonstrasi massa. Semenjak huru-hara yang terjadi pada bulan Mei 1998,
Pasukan Anti Huru-Hara (PHH) kini telah menerima latihan anti huru-hara
khusus.Dan terus menerus melakukan pembaharuan dalam bidang materi pelaksanaan
Pasukan Huru-Hara(PHH).
Beberapa elemen dari
Brimob juga telah dilatih untuk melakukan operasi lintas udara. Dan juga
sekarang sudah melakukan pelatiahan SAR(Search And Rescue)
http://online-journal.unja.ac.id/index.php/jimih/article/download/2174/1513
http://journal.ui.ac.id/index.php/jki/article/view/1092/1004
SUMBER :
http://semuapengertian.blogspot.co.id/2015/03/pengertian-polisi-dan-tugas-utamanya.html#.Vqh5vI8rSDA
https://sodikin3.wordpress.com/tag/pengertian-polisi/
https://id.wikipedia.org/wiki/Brigade_Mobil
http://policeline-kambey.blogspot.co.id/2008/07/pengertian-polisi.html
https://ferli1982.wordpress.com/2011/07/13/lalu-lintas/
Terimakasih atas infonya. Sangat membantu dalam kegiatan pembelajaran
BalasHapus